“Anjani
mau tinggal bersama Bu Guru Sekar, kan?”
Anjani
mengangguk, kemudian memeluk pinggang wanita yang dipanggil Bu Guru Sekar itu.
Pelukannya begitu erat.
Setelah
dijanjikan akan mendapat hidup yang lebih layak dengan makan yang lebih baik,
pakaian yang lebih bagus, dan tentu dapat duduk di bangku sekolah lagi. Anjani,
gadis kecil berusia 10 tahun dengan rambut sebahu, dan poni yang mirip tirai
jendela, mau mengikuti Bu Guru Sekar tinggal di rumahnya.
Bu
Guru Sekar memiliki putri, namanya Cahaya, Cahaya anak tunggal. Kata Bu Guru
Sekar, Anjani akan menjadi saudara Cahaya, keduanya akan disekolahkan di
sekolah yang sama, di kelas yang sama. Anjani berpikir itu pasti akan
menyenangkan sekali, kehidupannya akan berubah.
Anjani
tidak lagi sendiri dalam rumah Nenek yang kini sunyi, karena Nenek baru
meninggal seminggu lalu menyusul Ayah dan Ibu yang sudah berpulang lebih
dahulu. Dirinya tidak akan kesepian, memandang masa depan yang segelap
rumahnya, menyaksikan serombongan anak sekolah yang lewat depan rumah setiap
pagi, mendengar canda dan tawa mereka diam-diam.
Anjani
sudah meninggalkan bangku sekolah SD setahun lalu, sejak Nenek tidak lagi bisa
bekerja, kakinya sulit bergerak diserang radang sendi akut, matanya tidak lagi
dapat melihat. Kata Bu Bidan desa yang sering menolong Nenek, Nenek terkena
katarak. Berhenti sekolah membuat Anjani merasa hidupnya gelap.
Lebih
gelap lagi ketika Nenek meninggalkannya untuk selama-lamanya, beruntung Bu Guru
Sekar yang datang ke desa sebagai guru tamu mendengar kisah Anjani yang
sebatang kara, dan kemudian mengutarakan niatnya untuk mengambil Anjani sebagai
anak asuh. Semua masyarakat, termasuk perangkat desa setuju, karena memang
Anjani tidak lagi memiliki siapa-siapa.
“Kamu
nanti akan menjadi anak pintar seperti anak Bu Guru Sekar, Nduk,” bisik Bu
Bidan. “Bisa sekolah lagi, pintar, dan tahu banyak hal. Rumah Bu Guru pasti
fasilitasnya lebih lengkap, rajin-rajin belajar ya.”
Anjani
mengangguk. Bu Bidan memang begitu baik pada keluarga Anjani, dulu Nenek sering
berobat gratis. Meski Bu Bidan kerjanya menolong ibu-ibu di desa melahirkan,
tapi banyak juga masyarakat yang berobat ke tempatnya ketika sakit batuk,
pilek, atau pusing.
Tapi
ternyata rumah Bu Guru Sekar tidak seperti yang Anjani bayangkan. Semula Anjani
mengira akan tinggal di kota, melihat banyak gedung-gedung, mobil-mobil bagus,
toko-toko besar seperti yang diceritakan Ayahnya semasa hidup dulu. Rumah Bu
Guru Sekar berada di pinggir kota dengan suasana yang tidak berbeda jauh dari
desa tempat Anjani tinggal.
Anjani
yang senang menulis cerita, sering berkhayal melalui tulisannya, suatu saat
bisa ke kota, sekolah di kota, melihat banyak hal di kota. Impiannya pupus saat
dia berhenti sekolah, tapi mimpinya bangkit kembali ketika menerima tawaran Bu
Guru Sekar. Namun apa bedanya kalau sama-sama tinggal di desa?
“Selamat
datang, Anjani. Aku Cahaya, mulai besok kau akan masuk sekolah. Karena Bunda
sudah mendaftarkanmu di sekolahku, kita sekelas,” kata Cahaya ramah, saat Anjani
tiba di rumahnya. Rupanya Bu Guru Sekar sudah mempersiapkan semuanya.
“Kata
Bunda, kau hobby menulis cerpen ya? Kau bisa pakai laptopku, bisa browsing
mencari bahan buat cerita. Karena meski di pinggiran kota, pakai internet keluarga IndiHome, sinyalnya sangat kencang.”
“Internet
keluarga?” kening Anjani berkerut mendengar ucapan Cahaya.
“Iya,”
Cahaya mengangguk, “Kau bisa menulis cerita tanpa batas, dan mengirimkannya ke
penerbit mana pun. Apalagi akan ada lomba cerpen IndiHome loh, kau bisa
ikutan dan dapat hadiahnya, Anjani.”
“Ikut
lomba cerpen Indihome?”
“Iya.
Ayo, kita browsing bersama!” Cahaya mengajak Anjani ke kamar untuk
menyalakan laptopnya, lantas keduanya asyik browsing.
Anjani mencari tempat-tempat wisata yang indah, tempat-tempat
makan, gadis kecil itu merasa senang sekali. Apa yang dibayangkannya bisa
terlihat nyata di depannya, dia tidak menyangka bisa memakai internet, bisa
melihat dunia yang selama ini hanya dia dengar dari cerita Ayahnya dulu. Meski
tinggal di pinggir kota, rasanya bisa menjangkau apa saja berkat intenet
keluarga di rumah Bu Guru Sekar.
“Kalian sedang apa?” tiba-tiba Bu Guru Sekar muncul di pintu kamar.
“Lagi mengenalkan Anjani dengan internetnya Indonesia, Bu,” canda
Cahaya.
Bu Guru Sekar tertawa, wanita itu masuk, dan duduk di sebelah
Anjani serta Cahaya, “Tidak hanya browsing untuk mencari bahan-bahan menulis,
Anjani, tapi IndiHome dari Telkom Group juga bisa berlangganan televisi yang
acaranya bagus-bagus untuk anak-anak seusia kalian,” katanya lembut.
“Kalau kalian libur sekolah bisa nonton sepuasnya, dan ingat ya,
kalau menggunakan internet harus sesuai dengan usia kalian. Tidak boleh
melanggar peraturan.”
“Baik, Bunda,” sahut Cahaya sambil menyenggol bahu Anjani.
Anjani yang terdiam, langsung ikutan bilang,” Baik, Bunda.”
“Nah, gitu dong, anak-anak Bunda, sekarang waktunya kita makan
malam, Bunda masak jjajangmyeon.” Bu Guru Sekar bangun dari duduk, beranjak ke
luar kamar.
“Apa itu jjajangmyeon?” tanya Anjani terheran-heran.
“Browsing saja, Anjani, Bunda juga masaknya cari resep dari
browsing,” jawab Cahaya sembari ketawa.
Teryata jjajangmyeon, mie yang sangat enak sekali, seumur hidup
baru ini Anjani makan mie hitam seperti itu. Dan, Anjani baru tahu kalau
jjajangmyeon makanan ala Korea yang disuka anak-anak. Ternyata Anjani jadi tahu
banyak hal tanpa batas karena internet keluarga di rumah keluarga barunya.
Hidupnya jadi tidak sesunyi dan segelap dulu, cita-citanya menjadi penulis
terkenal semakin menyala.