Judul
Buku : Anger Management
Penulis:
Dandi Birdy & Diah Mahmudah
Penerbit:
Zenawa Media Giditama
Kita semua tahu bahwa bumi berputar dalam kecepatan
yang konstan. Tidak pernah berputar lebih cepat agar dapat lebih produktif atau
berputar lebih lambat untuk beristirahat sejenak seperti halnya kita para
manusia.
Sayangnya dalam kehidupan kita, perjalanan yang harus dilalui tidak pernah konstan seperti
bumi. Bahkan kita berputar seperti sedang bermain di dunia fantasi dengan banyak
wahana yang perlu nyali. Pastinya
kehidupan ini bukan fantasi tetapi semuanya harus dihadapi di segala situasi. (Anger management, Hal: 21).
Membaca awal dari buku yang sudah berhari-hari di
tangan saya, dan baru sempet saya baca selembar demi selembar ini membuat saya
ingin terus membacanya. Karena memang ketika berniat untuk mereview buku ini
(tentu dari sisi subyektifitas pribadi saya sebagai pembaca), berawal dari judulnya : Anger Mangement.
Meski saya tidak seemosional dulu, tapi rasanya ada bagian-bagian sisi emosi
dalam diri yang perlu ditata, dan diketahui oleh diri saya sendiri.
Karena setiap kita pasti memiliki masa lalu.
Setiap kita pun memiliki sekumpulan rasa dalam
menghayati ragam peristiwa di masa lalu, di masa kini dan juga masa depan. Kita
sepakat sekumpulan rasa menyenangkan, setiap jiwa mudah menerimanya karena
selaras dengan keinginan jiwa. Namun dengan sekumpulan rasa tidak menyenangkan?
Bahkan yang buruk, yang menyakitkan dan menimbulkan trauma.
Apakah sekumpulan rasa sakit dan duka yang bermuara
pada sekumpulan emosi negatif di jiwa ini sudah dilepaskan? Apakah sempat
diproses dan dipulihkan? (Anger Management, Hal: 27).
Jleb! Sejenak saya berhenti pada halaman 27 paragraf
pertama dan kedua, Apakah sempat diproses dan
dipulihkan? Adakah
rasa sakit dan duka dalam diri saya yang belum dipulihkan? Atas pertanyaan itu
tetiba saya ingat sebuah peristiwa yang terjadi sekitar setengah tahun lalu.
Saat itu saya masuk ruang dokter anak di Rumah Sakit
Mitra Keluarga dan bertemu dokter anak yang menangani Binar. Wajah saya bukan
panik, tapi nyaris tanpa ekspresi hanya air mata menetes, tidak ada kata-kata keluar
dari bibir saya. Sehingga suami yang mengutarakan ke dokter atas keluhan yang
terjadi pada Binar. Meledaklah tawa dokter Susi yang membuat saya tersentak.
"Anak ibu kan sudah sehat, kemarin sudah fisio therapi dan menghabiskan obatnya. Ini diare hanya efek dari obatnya. Bukan diare juga sih, karena hitungannya 24 jam baru di bawah lima kali."
Lega rasa hati saya, wajah saya perlahan tersenyum.
Tapi tetap pertanyaan aneh-aneh keluar dari mulut saya, sehingga dokter Susi
bertanya serius, "Ibu ini kenapa sih? Apa-apa selalu dibawa dalam
kecemasan yang berlebihan. Bayi ibu sehat loh, cantik. Ibu kenapa
sebenarnya?"
Meluncurlah dari bibir saya kisah hampir 8 tahun
lalu saat alm anak saya didiagnosa berbagai kelainan dan meninggal. Sejak itu
setiap menghadapi anak-anak sakit, saya selalu dihantui perasaan aneh dan tidak
nyaman. Bahkan tidak percaya apa kata dokter, dan balik lagi buat lebih
menyakinkan diri seperti yang saya lakukan pada Binar ini.
"Oooh, Ibu masih menyimpan luka itu. Harus ikhlas, Bu, percaya deh itu semua untuk kebaikan ibu dan alm anak ibu..."
Tahukah, saya sering menyakinkan diri bahwa luka
akan sembuh oleh waktu, bahwa semua sakit yang terasa akan mengering seiring
waktu memprosesnya. Kesedihan hilang, tangis hilang, tapi benarkah? Ternyata
pada kondisi tertentu rasa itu bisa muncul sewaktu-waktu mempengaruhi hidup
saya, contohnya seperti peristiwa kehilangan anak ke tiga saya. Hingga hampir 8
tahun berlalu, dan anak ke lima saya lahir, luka itu mempengaruhi saya.
Seperti yang ditulis oleh Dandi dan Diah Mahmudah
dalam bukunya Anger Management: Ketika banyak sekali isi ransel emosi negatif
yang belum diproses dan dipulihkan sebagaimana mestinya, maka akan sangat
potensial menimbulkan berbagai masalah lanjutan di kehidupan kelak. (Anger Management, Hal: 27).
Memang,
dan baru saya sadari ketika anak saya meninggal tidak ada yang mencoba bertanya
sejauh apa perasaan saya. Mereka hanya mengucapkan duka cita, memberi nasehat,
bahkan keluarga besar saya memarahi saya yang saat itu sering menangis, suami
hanya menghibur ala kadarnya, karena dia juga pasti dalam kondisi terluka.
Perlahan saya mengobati luka hati saya sendiri dengan menyakini waktu akan
membuat saya sembuh.
Lalu
semua berjalan begitu saja, lahir anak saya ke empat, lahir anak saya ke lima,
sejak itu saya menjadi setengah gila setiap menghadapi anak sakit dan menunggu
diagnosa dokter. Khayalan saya mencapai waktu 8 tahun lalu, ruang ICU, koma,
dan pemakaman anak saya. Puncaknya saya jadii histeris, padahal sakit anak saya
tidak berlebihan seperti itu. Sungguh, ini sangat menyiksa saya...
(Kalimat-kalimat
di atas saya tulisankan di Ruang Rasa yang ada di buku Anger Managemen, Hal: 61)
Selanjutnya
setelah kita mengenali dan menyadari luka masa lalu, dalam buku ini
terdapat tahap menyembuhkan dari semua
itu yakni SELF HEALING THERAPY. Seperti
apa, apakah mampu menyembukan luka masa lalu, emosi yang belum terurai, dan
lain sebagainya? Saran saya sih, sebaiknya baca langsung buku ini dan temukan
luka apa yang masih ada dalam diri kalian. Emosi apa yang masih utuh mengisi
semua perasaan kalian. Karena semua itu yang berujung pada kemarahan akan memiliki
dampak fatal. Dampak fatalnya kemarahan ini tertulis di halaman 74.
Makanya
sayang banget kalau melewatkan buku karya Dandi dan Diah ini. Saya pribadi
cukup senang membacanya, dan menemukan apa yang selama ini tidak saya sadari.
Font hurup yang cukup besar jadi nilai sendiri buat saya yang cepat merasa
lelah membaca buku dengan font kecil-kecil, hehehe (faktor usia). Namun tidak
ada gading yang tidak retak, jika bicara
tentang kekurangan menurut saya pribadi cover buku ini kurang.
Saya
lebih menyukai cover yang soft dan memberikan rasa nyaman saat diletakkan di
rak buku maupun saat dibaca. Ini soal selera kali ya, covernya dominan warna
hitam, ada gambar api menyala. Dan, sedikit typo EYD mungkin next butuh lebih
teliti saja sih. Secara keseluruhan buku ini memang harus kalian baca deh.
Buku ini harus dibaca oleh semua orang ya kayaknya. Terutama aku juga. Untuk bisa menghadapi masa depan, kita harus berdamai dengan masa lalu, dan melepaskan ego serta emosi ya.
ReplyDeleteBtw, alm anakmu dulu meninggal karena sakit apa?