Suatu
hari seorang ibu yang usianya di atas saya dan merupakan tetangga beda blok
melintas depan rumah. Ibu itu berhenti ketika melihat suami saya tengah
menjemur pakaian, sementara saya sedang bermain dengan Binar. Lalu katanya
dengan ekspresi sinis, "Jangan mau, Pak. Masa suami yang jemur pakaian.
Istri santai-santai."
Lalu
matanya yang semula ke arah suami, berbalik mengarah ke saya seraya berkata
lagi, "Kamu itu masa membiarkan suami ngerjain pekerjaan perempuan. Nggak
Jawani!"
Perempuan dan stigma gender |
Tanggapan seperti ini bukan sekali dua kali, tetapi seringkali dan selalu tokohnya adalah perempuan itu sendiri. Mengapa, padahal Indonesia memiliki Ibu Kartini yang menyerukan emansipasi pada jamannya, tapi memang pengertian gender di Indonesia menjadi tolak ukur yang kukuh sejak jaman Nenek Moyang. Bahwa perempuan memiliki tugas di sumur, di dapur, dan di kasur. Orang Jawa menempatkan perempuan sebagai konco wiking atau posisi di belakang suami.
Seakan
gender itu menjadi pembatas antara laki-laki dan perempuan, padahal gender
bukanlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Tapi
gender merupakan perbedaan peranan dan fungsi yang dibuat oleh masyarakat kita, seperti Bahwa perempuan
memiliki tugas di sumur, di dapur, dan di kasur. Atau konco wiking, sementara laki-laki bekerja di luar. Tapi pada
prosesnya TIDAK LAGI DEMIKIAN.
Sesungguhnya
sejak jaman dahulu pun, tidak demikian menurut saya. Coba lihat, tokoh wanita
Indonesia Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi
Sartika, Nyi Ageng Serang, dan banyak lagi. Dimana wanita turun ke medan laga
dan juga ke ranah pendidikan. Sayangnya, pengertian gender yang absurd membuat
perempuan tetap berada dalam stigma berbeda dengan laki-laki dalam segala hal,
termasuk peran.
Berangkat
dari stigma masyarakat kita tentang perempuan maka dalam rangka menyambut Hari
Ibu yang akan jatuh pada tanggal 22
Desember, viva.co.id dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPPPA) Republik Indonesia menyelenggarakan VIVATalk dengan tema 'Perempuan Berdaya Indonesia Maju,
Perempuan di Era Digital' dengan menghadirkan narasumber:
1.
Bapak Henky Hendranantha - Chief Operating Officer (COO) VIVA Network
2.
Bapak Indra Gunawan - Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia
3. Bapak Eko Bambang Sudiantoro - Chief of Research at Polmark dan Aliansi Laki-Laki
Baru
4.
Dr. Sri Danti Anwar - Pakar Gender
5.
Ibu Diajeng Lestari - Founder dan CEO HIJUP
Perempuan Berperan Penting Dalam Negara : Dukung Bersama Persamaan
Gender
Perempuan
berperan penting dalam negera yakni Indonesia dan itu harus disadari perempuan
itu sendiri. Karena itu seperti yang dikatakan Bapak Henky Hendranantha, bahwa
Hari Ibu bukan sekedar perayaan tanpa makna. Tapi merupakan tonggak
emansipasi untuk mewujudkan Indonesia
maju dengan kesadaran para perempuan akan pentingnya kesetaraan gender.
Terlebih
era digital yang serba memudahkan siapapun, termasuk perempuan untuk berperan
misalnya dalam perekonomian keluarga maupun madrasah bagi anak-anaknya di
rumah. Hal ini tentu dibutuhkan perempuan yang memiliki wawasan, intelektual,
dan keterampilan yang setara dengan laki-laki. Perempuan-perempuan seperti ini
termasuk yang meningkatkan perekonomian negara.
Tentu
saja hal itu akan berjalan dengan baik jika isu-isu gender tidak lagi menjadi
penghalang, dan persamaan gender terwujud dengan baik di Indonesia. Karena pada
prakteknya persamaan gender di Indonesia itu sudah berjalan sejak dulu, tapi
belum diakui secara nyata oleh masyarakat yang masih memiliki stigma gender
secara tradisional. Contoh kecil adalah tetangga saya, padahal ibu tersebut
selain ibu rumah tangga juga pekerja yang membantu perekonomian kelurganya
dengan berjualan baju muslim. Tapi masih saja membeda-bedakan peranan perempuan
dan laki-laki dalam tugas keseharian.
Bapak
Eko Bambang Sudiantoro sendiri mengatakan, yang membedakan perempuan dan
laki-laki hanya karena perempuan
melahirkan. Selebihnya sama, seperti sama-sama pernah menangis, sama-sama suka
curhat, sama-sama bisa menghasilkan uang, sama-sama bisa berpendidkan tinggi, dan lain
sebagainya.
Masih
kata Bapak Eko Bambang Sudiantoro, terlebih sekarang era digital dimana
perempuan bisa memberdayakan dirinya dari rumah. Maka seharusnya perempuan
masih sadar siapa dirinya dan tidak terimbas stigma gender. Tapi memang
persamaan gender ini harus didukung pihak laki-laki, dimana pihak laki-laki mau
mengakui dan memberi kesempatan perempuan untuk lebih maju demi terciptanya
Indonesia maju.
Jadi
bersyukur ya, jika perempuan memiliki suami yang membiarkan perempuan tetap
memiliki eksistensi diri, tetap berkembang bersama karirnya, dan sama-sama mau
bertanggungjawab mengurus rumah dan anak-anak, tanpa ada perbedaan gender yang
membeda-bedakan peran masing-masing.
Dr.
Sri Danti Anwar menungkapkan bahwa saat ini dunia semakin terbuka terhadap
persamaan gender, sehingga pemandangan laki-laki dan perempuan berbagi tugas
yang sama menjadi hal lumrah. Meski memang dibeberapa wilayah masih memiliki pemikiran
soal gender, biasanya karena wawasannya belum terbuka, dan lingkungan sekitar
mendukung perbedaan gender ini.
Sebagai
contoh nyata wanita yang mampu maju menjadi bagian dari perekonomian keluarga
dan negara adalah Ibu Diajeng Lestari.
Perempuan manis ini sukses mengembangkan sayap bisnisnya di bidang fashion
musliman dengan memberdayakan era digital. Mungkin hampir setiap perempuan
muslim tahu online shop HIJUP. Jadi apakah kalian sebagai perempuan Indonesia
masih tertidur dalam stigma gender, dan tidak menyadari kemampuan dalam diri
bahwa kalian adalah perempuan hebat yang ikut berperan dalam majunya Indonesia?
No comments:
Post a Comment