Surat Teruntuk Anakku

Pada akhir 2018 di musim penghujan...

Anakku, ketika ibu menulis ini musim sedang basah hingga daun-daun di halaman menjadi begitu hijau dan berayun, seolah menahan beban yang berat. Namun jadi terlihat begitu romansa saat dijatuhi rintik hujan dan berayun pelan dengan pasti. Tahu apa yang ibu rasakan seketika itu? Ibu rindu menapaki bumi Allah SWT yang berupa hutan, gunung, sungai, dan rumah-rumah dari kayu yang lapuk. Perjalanan 14 tahun berlalu...

Ya, setelah kalian lahir satu persatu, Anakku, ibu menjadi wanita yang hidupnya di antara dinding, aroma teh hangat, tangis bayi, wangi ompol dan riuh kalian. Karena kaki ini selalu ragu untuk terbang dan pergi meninggalkan kalian meski untuk kembali, meski kesempatan berlari ramai di depan. Ibu tidak pernah benar-benar pergi dari sisi kalian selama 14 tahun sejak ayah meminang. Meski sesungguhnya ingin...

Mungkin kalian tidak menyadari, Anakku, tidak memahami bahwa ibu yang selalu ada ini kakinya senang berlari-lari di hutan, di gunung, di sungai, di lembah-lembah, karena kini semuanya  berhenti untuk kalian atas nama kasih dan sayang. Mungkin kalian tidak berpikir itu, kalian lahir dan bertumbuh sebagai anak-anak ibu, mungkin tidak menyadari itu. Termasuk arti kasih dan sayang...

Ibu yang kadang meluap, berapi, terdiam, merasa gagal sebagai ibu sesungguhnya. Karena semua emosi itu, terlebih pada putri pertama ibu. Dimana menjadi ibu pertama adalah pembelajaran hal-hal baru, betapa ibu banyak menyakiti tumbuh kembangmu. Tapi, Lintang adalah cinta pertama ibu pada anaknya. Cinta pertama yang tidak akan lekang dalam ingatan hingga usia berakhir. Itu yang perlu diketahui jika kelak Lintang menjadi seorang ibu.

Namun tentu saja kepada Pijar, alm Gibran, Pendar, dan Binar meski kalian bukan cinta pertama ibu, kalian adalah kecintaan ibu yang terdalam. Apa pun yang kalian rasakan tentang ibu, apa pun yang kalian pikirkan tentang ibu, apa pun yang kalian mimpikan tentang seorang ibu. Hati ibu untuk kalian hanya ada CINTA TANPA SYARAT.