Intermezo
Nyaris pukul dua belas
siang ketika saya sampai di shelter busway Latuharhari, dan terpaksa bertanya
dengan dua pria yang menyandarkan motornya di taman, tidak jauh dari
shelter busway. Karena apa yang saya cari tidak sesuai dengan keterangan Google
Map, keterangannya tidak sampai 1 kilo meter dari shelter buy tersebut, tetapi kok
sepanjang mata memandang tidak ada tanda-tanda gedungnya.
“Komnas Perempuan? “
salah seorang lelaki itu menatap saya dari ujung jilbab ke ujung boots yang saya kenakan, sementara gadis kecil
saya-Lintang yang ikut dalam perjalanan ini, tertawa-tawa. Mungkin dia merasa
lucu melihat ekspresi lelaki tersebut. Seperti takjub dan ngeri gitu loh, kenapa ya? Apakah penampilan
saya seperti preman?
“Jauh, Mba, naik ojek
saja.” Katanya sambil menawarkan motor temannya.
Dasar saya ini tipenya
curigaan, saya ngeyel kalau deket tetapi mengingat waktunya mepet. Takut
telat parah, maka saya setuju naik ojek dan...lumayan jauh bo! Cuma disuruh
bayar Rp10.000, saya dikira aktifis perempuan...hahahaha. Memang seperti apa
sih Komnas Perempuan itu, apakah seperti LSM wanita lainnya? Dulu jaman single, saya
pernah ikut-ikut aktifitasnya dan berteman baik, seperti Jurnal Perempuan, Institut Ungu, bahkan buat Institut Ungu saya inget tahun 2002 datang ke acara
peresmiannya di Taman Ismail Marzuki.
Ulang Tahun ke 18 KOMNAS PEREMPUAN
Sampai di gedung Komnas
Perempuan, ternyata lebih dekat dengan shelter busway Halimun, bisa
ditempuh dengan jalan kaki. Acara dimulai setelah makan siang dengan hidangan
menu Manado yang menyengat lidah, setelah itu dibuka oleh wakil ketua Komnas
Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah. Dibalut
blouse putih, Mba Yuni berdiri di depan undangan, apa yang terjadi? Menahan air
mata...
Mba Yuni-Wakil Ketua Komnas Perempuan |
Komnas Perempuan atau Komisi
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan didirikan 15 Oktober 1998 dan merupakan salah
satu Lembaga HAM Nasional di Indonesia. Alasan berdirinya Komnas Perempuan
adalah sebuah peristiwa yang terjadi 18 tahun lalu, berakar dari tragedi
kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis China dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar
di Indonesia. Kerusuhan yang menjadi salah satu tragedi sejarah kelam di
Indonesia.
Mengutip Dewi
Anggraeni-Kontributor Tempo dan penulis buku “Tragedi Me 1998 dan Lahirnya
Komnas Perempuan”:
4 energi yang membidani
lahirnya Komnas Perempuan:
- a sense of outrage: Rasa marah yang mendalam dan tidak percaya bahwa elemen-elemen bangsa Indonesia bisa melakukan kejahatan seperti itu.
- a sense of decency: Naluri dasar norma-norma kelayakan
- Basic humanity: Naluri dasar kemanusiaan yang muncul berbarengan dengan tergugahnya rasa nurani masyarakat.
- a colletive sense of shame: Naluri rasa malu kolektif.
Blogger dan beberapa undangan
lain yang menghadiri acara ini, mendengarkan cerita Mba Yuni seperti terbawa
pada peristiwa 18 tahun lalu. Saat itu saya sudah bekerja di sebuah kantor
swasta di bilangan Bangka-Kemang, menjadi saksi bagaimana seorang teman china
harus meminjam jilbab untuk mengamankan diri, bahkan istri dan anak boss kantor
yang etnis China, mengungsi ke Canada sampai kerusuhan usai.
Yang mereka takuti
bukan sekedar penjarahan harta, dimana saya lihat mall, toko, dibakar dan dijarah
isinya. Wilayah Pasar Minggu- Jakarta Selatan yang tidak jauh dari saya tinggal
jadi lautan api dan penjarahan, nyaris semua gerbang dan pintu ditulisi: KAMI PRIBUMI!
Namun yang paling ditakuti kaum wanita etnis China ini adalah...PEMERKOSAAN.
Meski saya tidak menjadi saksi adanya kasus tersebut, namun beritanya membuat
masyarakat (khususnya perempuan etnis China) dilanda ketakutan.
Dan ternyata berdasarkan laporan Tim Gabungan
Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998 pada Kerusuhan Mei 1998, fakta
menunjukkan setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,
mayoritas dari etnis Tionghoa; 52 perkosaan gang rape, 14 perkosaan dengan
penganiayaan, 10 penganiayaan serta 9 pelecehan seksual. Ini fakta yang konon
nyaris dilupakan sebagaian orang, mungkin juga diri saya sendiri.
Selesai sesi Mba Yuni,
para undangan dibawa keliling gedung Komnas Perempuan yang penuh mural, tentu
saja mural tersebut mengusung ‘perempuan’. Meski dikemas dengan warna-warna
cantik, setiap lukisan menggambarkan kedukaan setiap perempuan yang menjadi
korban kekerasan.
Selain mural, terdapat banyak pernak-pernik perjalanan Komnas Perempuan dalam kancah memperjuangkan keadilan terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan. Foto-foto, lembaran surat kabar (media cetak), menjadi saksi perjalanan Komnas Perempuan.
Dan, ketika saya pulang, berjalan kaki
diantara gerimis bersama putri saya, saya terkenang dengan kalimat ini:
Apabila kerja
memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah sebuah mimpi, apakah kita akan
membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya? (Saparinah Sadli,
2001)
Yuk, mari perempuan
jangan tenggelam dalam dukamu. Ada wadah bagimu untuk berbagi, Komnas Perempuan
bergerak di dalam segala segmen bagi perempuan yang mengalami kekerasan:
Komnas Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Jl. Cikini Raya no.43
Jakarta Pusat
Tlp. (021) 315-2726
Twitter @sahabatysik
Menutup tulisan ini (di anak tangga gedung Komnas Perempuan):
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani melawan lupa
Sebab kebenaran tidak dapat dibisukan
Dan sejarah manusia tak dapat dibungkam
Kalau inget Google Map suka inget pengalaman sendiri. Euh, kadang jauh banget. Tau-tau nyasar .. pusing deh kalau udah gitu.
ReplyDeleteIya Mbak, dengan nama komnasham perempuan agak-agak serem gitu sih, kesannya berbau kekerasan, teraniaya, dan lainnya.
Beda kalau yang nulis novelis ya. Enak dibaca reporsatenya.
ReplyDeletehehehehe...
maaf komentarnya ngelantur dari tema tulisan :D
Kalimat-kalimat terakhir penutupan itu bikin merinding mbak. Yap, perempuan punya wadah di Komnas Perempuan
ReplyDeleteTerimakasih untuk infonya Mbak... sangat bermanfaat untuk dijadikan referensi jika suatu saat diperlukan menghubungi Komnas Perempuan.. :)
ReplyDelete