Mungkin
ini akan menjadi sejarah dalam hidup saya atau kenang-kenangan menyesakkan dada
yang moga tidak menjadi trauma di kemudian hari. Kemarin saya memeriksakan
kandungan di sebuah RS yang terkenal itu. Dari pukul 12.30 wib hingga pukul
20.30 malam. Rekor!! Daftar jam segitu dapet nomor buncit. Mau daftar via
telpon engga boleh sebab saya adalah peserta asuransi publik itu.
Sebenanrnya
saya daftar juga hari sabtu, tapi saat itu sudah mepet waktunya dan kata
petugas paregistrasi yang cantik (namun tanpa senyum) jadwal dokter yang dituju
sudah selesai. Padahal kenyataannya, semalam saya periksa dan dokter yang
dimaksud praktek hingga pukul 8 malam. Poor me.... Artinya ada yang bohong di
sini, sebab kemarin juga ada pasien datang pukul16.00 wib dari asuransi kantor
bukan bpjs dan diterima. Padahal nomornya satu nomor setelah saya...
Patut
kalau saya pulang periksa kandungan bukannya bahagia, tapi malah menangis. Sampai
di rumah saya bersihkan diri, mandi, dan berganti pakaian. Saya tidak bisa
mencegah airmata yang terus menderas. Tidak nafsu makan dan tidak ingin
mengobrol dengan anak-anak. Bahkan saya sampai terlelap dalam kelelahan yang
luar biasa.
Mungkin
saya terlalu lebay, tapi itulah yang terjadi. Saya mungkin akan berpikir 7x
untuk mempergunakan kartu itu lagi. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya
memelihara kesehatan batin yang lebih penting. Saya berdoa semoga saya tetap
sehat dan waras di negara ini, Aamiin. Hikmahnya
saya jadi lebih memahami pasien dengan kartu ajaib ini, terutama masalah
psikologinya.
Cerita
di atas secara tidak sengaja saya baca dari sebuah status yang lewat beranda
media sosial, ironis. Sistem kesehatan di Indonesia masih tidak memberikan
keadilan yang merata kepada rakyat dari beberapa lapisan. Mutu pelayanan bagi
kesehatan masyarakat masih rendah, substandar (di bawah standar) dan para
dokter lah yang menerima imbasnya. Hubungan masyarakat dan dokter menjadi tidak
terjalin baik. Sementara semua ini kesalahan siapa?
Kondisi
sarana kesehatan tidak memadai, kurangnya ketersediaan obat, dan saranan penunjang
lainnya, membuat pelayanan kesehatan kepada rakyat tidak maksimal, biaya
kesehatan menjadi mahal. Terkait alokasi pembiayaan untuk obat bagi pasien yang
terlalu kecil sehingga menyulitkan dokter untuk memberikan obat dan penangan
terbaik terutama bagi peserta BPJS dari kalangan rakyat miskin. Pelaksanaan JKN
masih memerlukan harmonisasi kebijaksanaan dan pengawasan termasuk dalam
kaitannya dengan otonomi daerah yang masih menjadi kendala dalam penerapan
program JKN. Sinkronisasi aturan BPJS dengan standar profesi juga harus menjadi
perhatian bersama.
Kemudian
mahalnya biaya pendidikan kedokteran membuat jumlah dokter spesiali di
Indonesia tidak banyak hingga biaya kesehatan pada penyakit tertentu lebih
mahal lagi. Padahal di negara lain pendidikan dokter umum yang ingin memperdalam
spesialisasi tidak perlu mengeluarkan uang, bahkan dibayar karena kerjanya
selama proses pendidikan.
Terlebih
upaya pemerintah membuka program studi Dokter Layanan DLP akan menambah panjang
perjalanan pendidikan seorang dokter setelah lulus dan menjalani magang. Selain
pemborosan, program ini sangat tidak tepat sasaran jika memang pemerintah
berniat memperbaiki pelayanan promer untuk mendukung program JKN.
#AksiDamaiIDI
yang didukung seluruh komponen IDI di seluruh Indonesia pada tanggal 24 Oktober
2016, yang bertepatan dengan Ulang Tahun IDI yang ke 66. #AksiDamaiIDI yang
diadakan di depan Istana Negara bertujuan
untuk memberi dukungan sekaligus masukan kepada pemerintah agar tercipta
perbaikan sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang berujung
kepada perbaikan kualitas kesehatan di masa depan. Karena keberhasilan sektor
kesehatan adalah tanggungjawab bersama, negara, dokter dan masyarakat tentunya.
Harapan
kami sebagai rakyat kecil, sebenarnya hanya satu: Dokter Indonesia yang
benar-benar pro rakyat!
No comments:
Post a Comment