Memahami Cita-Cita
Anak-Anak
Sebagai orangtua, tentu saja saya mengamati perkembangan anak-anak dalam hal minat dan bakatnya, terutama untuk kedua anak saya Lintang dan Pijar karena usia keduanya sudah paham kalau ditanya cita-citanya. Sebenarnya sih soal kata ‘paham’ ini menurut pemikiran saya, sebab ketika kanak-kanak dulu dari masih SD saya sering ditanya, apa cita-cita saya? Maka saya akan menjawabnya dengan lantang, Pengarang. Pengarang kata lain dari penulis.
Hal yang mendukung dari
cita-cita saya tentu saja minat dan bakat yang memang sudah ada dari SD juga.
Saya suka sekali membaca dan menulis, karena sukanya melihat perpustakaan dan
persewaan buku, juga rumah teman yang banyak koleksi bukunya membuat saya
takjub dan betah. Soal menulis, saya paling gembira kalau pelajaran bahasa
Indonesia sampai pada mengarang cerita, rasanya asyik sekali mewujudkan segala
impian di kepala ke dalam tulisan dan nilai mengarang saya di atas angka delapan.
Karena senangnya
menulis dan selalu mendapat nilai bagus, teman-teman di sekolah nyaris semuanya
tahu kalau saya berbakat sekali menjadi pengarang cerita. Seiring bertumbuhnya
usia kemudian cita-cita saya itu memang terwujud meski dengan perjalanan yang
sangat panjang dan tidak mudah. Kalau sekarang menjadi penulis bisa begitu
mudah, penerbitan meruyak, sosmed mendukung dan minat baca juga semakin tinggi.
Namun ternyata ada hal
yang perlu saya garis bawahi soal paham ini, sebab ternyata anak kedua saya:
Pijar selain cita-citanya selalu berubah-ubah, bakatnya juga berubah-ubah. Dulu
sebelum sekolah dia mau jadi Astronot, setelah TK dia mau jadi Pilot dan
sekarang SD dia mau jadi pemain bola. Soal bakat?
Waktu TK dia hobby
menari dan main lego sampai meraih juara dikedua bidang tersebut, namun, begitu
masuk SD dia sama sekali tidak suka menari. Padahal dulu sempat terbersit saya
akan memasukan Pijar ke klub menari, siapa tahu dia bisa sekeren Brandon-penari
cilik yang menjuarai sebuah kompentisi di salah satu televisi swasta. Selain
mempunyai cita-cita jadi pemain bola, Pijar sudah mulai minta les sepak bola,
koleksi baju-baju bola, setiap hari juga asyik main bola sendiri atau bersama
teman-temannya sampai kulitnya legam.
Tapi berbekal dari
pengalaman Pijar TK dulu, saya dan suami tidak berani memprediksi apakah
cita-cita dia benar-benar akan diwujudkan, siapa tahu SMP dia tiba-tiba mau
jadi dokter atau lainnya. Sementara Kakaknya-Lintang, ini lebih terlihat
konsisten, dari TK dia ingin menjadi disainer, dalam prakteknya suka
mengoleksi gambar-gambar sketsa baju, corat-coret gambar baju
tapiiii...bakatnya kalau saya amati dengan cermat untuk seusianya (hampir 11
tahun) minatnya ini tidak terlalu didukung dengan bakat. Dalam menggambar dia
biasa saja, justru saya melihat dia itu berbakat dalam musik cuma kurang
berminat dimusik.
Haduwww, saya sering
pusing deh kalau memahami kedua anak saya ini. Saya yang belum paham atau
memang terlalu berlebihan berpatokan pada kondisi saya kanak-kanak dulu mungkin
ya.
Talkshow Bersama #KEBJiwasraya
Ketika mendapat
kesempatan untuk ikut talkshow yang ditawari oleh KEB (Kumpulan Emak Blogger)
bersama asuransi Jiwasraya dengan tema: Persiapan Pendidikan Anak Menghadapi
Persaingan Global yang dibawakan oleh seorang psikologi, rasanya topik ini pas
bener buat saya. Kebetulan diadakannya pas hari Minggu, tanggal 28 Agustus
2016, langsung deh dengan mengajak Lintang saya cabcus ke Honkong Cafe tempat
acara tersebut diadakan.
Acara yang diisi oleh 3
narasumber, yaitu: Mira Sahid-Founder KEB, Elizabeth T.Santosa-Psikolog, dan T.
Guntur Priyonggo- Ka. Cab.Jiwasraya ini diawali dengan makan siang yang cukup
seru bareng emak-emak blogger, kemudian sholat zuhur, baru acara dibuka oleh
MC, sedikit kata sambutan dari Maketu Icoel, dilanjutkan oleh Makpon Mira
Sahid. Ternyata... apa yang saya rasakan dan gelisahkan selama ini bersama
suami terhadap anak saya itu juga dialami Mak Mira.
Mak Mira cerita dari A-Z tentang kedua anaknya yang minatnya berubah-ubah, tentang kebingungannya harus mendukung yang mana dan bagaimana hingga cita-cita anak-anaknya kelak terwujud dengan baik. Sesi Makpon ini disimak oleh psikolog Elizabeth yang akrab disapa Bu Lizzie, kemudian Bu Lizzie yang cantik pun membuka pembicaraannya mengenai cara menemukan bakan anak-anak dari 8 kecerdasan majemuk.
Menarik bangetkan buat disimak para orangtua nih, meski soal kecerdasan majemuk ini sudah sering dibahas, bahkan buku-bukunya banyak beredar di toko buku, tapi tetap menyimak kembali atau berulang-ulang tidak membosankan. Apalagi versi yang dibawakan Bu Lizzie agak berbeda dari yang pernah saya baca dan simak. Saya benar-benar penasaran bagaimana sih menemukan bakat anak-anak saya dari 8 kecerdasan majemuk ini. Yuk, mari disimak.
Mari Temukan Bakat Anak
Anda Melalui 8 Kecerdasan Majemuk
Bu Lizzie membuka pembicaraan dengan bercerita secara singkat tentang tokoh-tokoh artis yang sukses, salah satunya Taylor Swift penyanyi muda yang sukses meraih piala Oscar. Dalam perjalanan karir Taylor Swift ternyata tidak mudah banyak pengorbanan. Bu Lizzie sampai mengungkapkan pengorbanan itu kalau perlu sampai berdarah-darah agar kita tidak menjadi generasi instan, sebab generasi instan akan mencuat tinggi lalu menghilang begitu saja. Tapi semua itu tentu saja membutuhkan dorongan atau motivasi dan arahan dari orangtua.
Nah, bagaimana kita sebagai orangtua mendukung cita-cita anak-anak:
Seperti point pertama di atas, hal paling utama buat orangtua adalah mengindentifikasikan potensi anak kita, Bu Lezzie memakai metode dari Howard Gardner: Multiple Intelligences, atau biasa disebut juga 8 kecerdasan majemuk. Semua manusia umumnya memiliki 8 kecerdasan majemuk, dan kelak yang paling dominanlah yang merupakan bakat kita.
Waduh, saya justru jadi terpana nih dengan penjelasan Bu Lizzie karena baru saya sadari mengapa saya ini susah banget menghapal dimana tadi memakirkan motor, tidak bisa dengan cepat menghapal alamat dengan lokasi yang banyak kelokan, dan...agak sulit memahami Google Map, ternyata saya kurang memiliki kecerdasan Spacial dan satu lagi...kecerdasan saya dalam musikal juga jeblok padahal saya suka sekali mendengarkan lagu dan pernah bermimpi bisa main piano. Halaah, belajar gitar saja tidak lulus-lulus.
Dan, kalau
diingat-ingat masa kecil saya memang jauh dari musik. Ayah saya tidak menyukai
musik, di rumah tidak ada media yang mendukung untuk mengenal musik, mungkin
ini juga hal yang membuat kecerdasan musikal saya sangat buruk sekali.
Sementara mengapa saya sedari kecil sudah bisa menentukan dan memahami bakat
serta cita-cita saya sebagai penulis?
Ibu saya lah yang
berperan penting dalam hal ini, karena Ibu
yang suka membaca sering mendongengkan anak-anaknya menjelang tidur,
membeli buku cerita dari yang baru sampai bekas. Hari-hari saya melihat Ibu
membaca dan mendengar Ibu mendongeng, kemudian saya menuliskan semua yang saya
lihat.
Sebagian Novel Saya |
Kalau direnungkan lagi, Lintang ini cenderung mampu menangani dengan cepat beberapa alat musik seperti biola, suling, pianika, hanya saja dia tidak hobby menekunin-solusinya saya sebagai orangtua mendukung-memotivasi dan memediasikan seperi memasukannya ke les biola. Sementara Pijar sejak kecil terlihat benar kecerdasan kinestetik dengan membuktikan bisa menjuarai lomba menari, lalu sekarang lari ke hobby bermain sepak bola. Mungkin saat ini bakat tersebut bukan atau belum dominan, jadi tentu saja tetap menjadi PR besar bagi saya dan suami hingga anak-anak kemudian memiliki pilihan yang tepat sesuai dengan bakat dan minatnya, sebab bagaimana pun orangtua adalah Coach terbaik bagi anak-anaknya. Duh, jleb banget ini karena selama ini banyak orangtua merasa guru-guru sekolah dan les lah Coach terbaik buat anak-anaknya.
Persiapan Materi
Ini dia puncak dari semua ulasan di atas, setelah mengindentifikasikan bakat anak kita, mengarahkan dan membina hingga memotivasi maka persiapkan semua biaya pendidikan mereka juga merupakan bagian dari mempersiapan pendidikan anak menghadapi persaingan global. Sebab biaya pendidikan itu tidak murah.
Pada sesi talkshow ini
pun hadir Pak Guntur mewakili pihak Jiwasraya memberi masukan tentang inves
pendidikan untuk anak-anak. Jiwasraya sendiri merupakan perusahaan asuransi
jiwa yang pertama kali ada di Indonesia, yaitu sejak 31 Desember 1859 dan satu-satunya
perusahaan asuransi jiwa milik negara
(BUMN) sehingga dana kita cukup terjamin aman di Jiwasraya. Jiwasraya didukung
17 kantor wilayah dan 71 kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, memberikan
pelayanan yang mudah dalam klaim, variasi pembayaran premi bisa via online di
seluruh Indonesia. Kalau nasabah atau pemegang polis harus pindah alamat dalam
pengurusan administrasi juga mudah.
Sumber gambar: Jiwasraya |
- Perencanaan keuangan Beasiswa yang fleksibel
- Mudah memilih manfaat sesuai dengan keinginan dan kemampuan
- Premi Gratis setiap jatuh tempo tahapan
- Manfaat dana jenjang pendidikan dapat diambil 6 (enam) bulan sebelum ulang tahun polis sehingga dimungkinkan dapat digunakan pada saat dibutuhkan
- Dapat mengatasi penurunan Nilai Uang, karena manfaat menaik 5% setiap tahun secara majemuk
- Pengembalian premi standar jika anak yang dibeasiswakan meninggal dunia
- Santunan 100% Uang Asuransi yang menaik 5% setiap tahun majemuk, jika tertanggung meninggal dunia dalam masa asuransi
- Santunan 200% Uang Asuransi yang menaik 5% setiap tahun majemuk, jika tertanggung meninggal dunia dalam masa asuransi akibat kecelakaaan
- Dibebaskan dari kewajiban pembayaran premi lanjutan jika tertanggung mengalami cacat tetap total
Sepertinya pulang dari acara ini saya harus diskusi lebih lanjut dengan
suami, mengingat anak bungsu kami-Pendar sudah berusia 21 bulan. Inverstasi semakin dini tampaknya semakin bagus, sebab inves buat kedua kakaknya baru menabung logam emas secara kecil-kecilan. Namun karena logam emas itu bisa dicairkan sewaktu-waktu, beda dengan asuransi-kadang jika butuh melayang juga. Oya, untuk yang mau tahu lebuh lanjut tentang JS Prestasi berikut ini alamat
lengkapnya:
Kantor Jiwasraya
Jl. Ir.H. Juanda No.34
Jakarta Pusat 10120
Telp: (021) 3845031
Customer Service Call Center di (021) 1500 151
kalo anak saya ditanya apa cita-citanya, jawabnya paling sering pilot :)
ReplyDeleteMbak Lintang yg kemaren ikut ya mak? aihhh, passionnya oke punya ya:) Cara kmaren bener2 seru buat bekal, especially for me :)
ReplyDeleteZaman dulu banyak orangtua belum paham ya mba, kalo sekarang kita berarti harus lebih canggih ya maaak. Anak gadis mba eni siapa namanya yang sering dibawa? Mungkin cocok jd fotografer, hihihi.
ReplyDeleteLengkap banget neh ulasannya mba. Anak saya cita-citanya ingin jadi tentara hehe
ReplyDeleteLiswanti: Didukung, Mba...biar terwujud cita-citanya
ReplyDeleteLisna Ardhini: jaman semakin mengembangkan ilmu ya, mba Lisna. Btw anakku yang foto-foto itu namanya Lintang, dia suka jg fotografi :D
ReplyDeletePritahw: Iya, Mak, anak gadis satu-satunya..saudaranya cowok semua
ReplyDeleteIrawati Hamid:Wujudkan mba..beliin buku-buku tentang pesawat, film yang berhubungan dengan pesawat
ReplyDelete