Alm Gibran |
Membutuhkan waktu yang
lama buat bisa menulis apa yang saya rasakan karena kehilangan putra ke tiga,
setidaknya setiap akan menulisnya sedikit panjang...jemari ini seakan tertarik.
Aksara dan jemari seperti dua kutub magnet yang sama saling bertemu dan
berbalik arah, sekuat apapun ingin saling mendekatkan agar berbentuk rangkaian
kata.
Konon alam akan
memproses luka atau kesedihan sejalan dengan waktu yang membuat lupa, tapi bagi
seorang ibu seperti saya...seakan alam pun menyerah meletakkan penghapusnya dan
mengikhlaskan saya untuk menyimpan ‘ingatan’ sebagai salah satu harta terbesar
dari kehilangan. Rabb... tolong jangan
katakan saya belum ikhlas, saya hanya rindu dan itu manusiawi, bukan?
Tolong beri jawaban,
iya manusiawi karena kesempurnaan hanya milikMu.
Dan malam ini, Ramadhan
ke 27..
Di kala langit menyepi,
bahkan angin ngeri bersuara dan bintang berpendar lebih dari biasanya.
Cahayanya memijar hingga mencapai bumi..langit penuh bintang yang syahdu.
Hingga dini hari aku
terjaga, suhu tubuhmu menghilang..kau tergulir di sampingku. Matamu terpejam,
bibir mungilmu terkantup, jejemari mungilmu terkulai. Aku meraihmu, meraba
semua milikmu, menyakini bahwa kau masih ada-baik baik saja, ini adalah mimpi
semua ibu yang terjaga dari sedih. Bahwa yang nyata ingin menjadi tidak nyata.
Ramadhan ke 27 '2012
Dini hari itu... (aku
mulai merasa menulis ini dengan tidak beraturan, kosa-kata hanya yang terasa
ada di kepala, alur bergelombang sesuai tarikan napasku, aku ingin
berhenti...tapi aku yakin aku bisa. Lihatlah aku-saya...)
Kulihat matanya terbuka
tapi tiada isyarat bahwa dia tahu ini aku, ibunya. Mata itu ada tapi tiada,
mata itu seperti lembah sunyi...kusentuh dan buka, aku tahu...dia sudah pergi.
Bibirnya, aku
terhenyak. Hitam, bukan memerah seperti biasanya. Aku meraba kelopak bibirnya,
beku. Aku marah oleh warna hitam itu-menggigil pada takdir siang itu.
Pipinya, aku
membelai..Rabb, masih hangat. Hangat sekali tapi saat kukecup erat..kosong,
tidak ada suara gemericik darah mengalir dengan lembut. Tidak ada dan lambat
laun...semua menjadi dingin. Aku mencoba percaya, aku sedang dalam takdir
kehilangan.
Malam ke 28 Ramadhan...
Dengan dada sakit oleh
segunung ASI yang membeku, ibu tertidur memeluk bajumu, baju terakhir yang
penuh aromamu, baumu.
Berhari-hari, berbulan bibir
ini hanya mengeluarkan suara: Astagfirullah, Anakku Gibran..Ya Allah... (sambil
menciumi bajumu yang Ibu simpan dalam almari, jauh tersembunyi di sudut agar
tidak terenggut- bertahun-tahun kemudian baru baju itu Ibu cuci). Ternyata baru saya
pahami arti kehilangan... hilang, tidak ada dan rindu yang panjang.
Ya Rabb, ini sekedar
sebuah ingatan-rindu yang manusiawi. Sebab aku menyadari, ini adalah jawabanMU
atas doaku: yang terbaik bagi dia dan bagiku, yaitu kepergiannya. Dan ketika
aku marah pada anak-anakku Lintang-Pijar-Pendar...maka aku akan selalu
ingat: Jika dia masih ada di sampingku, aku pasti akan pernah marah dan
mengeluh. Tidak seperti kasihMu padanya saat ini, terlalu sempurnah hingga aku tiada memiliki hak untuk menangisi sebuah kepergian...kecuali sekedar rindu.
Itu saja
Ramadhan ke 27, 1 Juli
2016
(Dan setelah 4 tahun aku baru bisa menuliskan sedikit lengkap perasaan ini di blog)
(Dan setelah 4 tahun aku baru bisa menuliskan sedikit lengkap perasaan ini di blog)
Saya nangis baca ini mbak Eni. Entah saya harus komen apa. Tapi saya membayangkan andai saja itu saya. Ah...saya tidak yakin akan sanggup tegar andai buah hati kita dipanggil oleh-Nya...
ReplyDeleteInsyaallah Gibran menanti di pintu surga ya, Mbak Eni... aamiin
ReplyDeletesing sabar ya mbak Eni, huhu aku sedih bacanya, berasa banget, insyaa Allah semua ujian akan tergantikan dan dedek manis sudah menunggu mu di surga mbak
ReplyDeleteevrinasp: Aamiin, terima kasih mba Evri
ReplyDeleteApril Hamsa: Aamiin, terima kasih mba April
ReplyDeleteIsnaini S Ibiz: Insaallah, Mba, setiap manusia diberi kemampuan melewati yang tersulit-hanya butuh waktu untuk mampu ya...aku jg masih banyak belajar
ReplyDelete