Alhamdullilah ramadahan
pertama sudah terlewati dengan sukses, meski sukses di sini bukan sukses
berpuasa tapi sukses menyediakan menu keluarga secara sederhana: Bening
bayam-labu baby-wortel, telur balado dan kolak manis. Kenapa bukan sukses
berpuasa, karena saya masih menunggu masa-masa haid berakhir untuk bulan ini.
Insaallah besok sudah bisa berpuasa meski masih menyusui Pendar (18m), Pendar ini walau makannya
bagus, plus doping susu juga tapi ASI luar biasa kuat. Eh kok jadi curhat Pendar heheheh
Kembali ke topik soal
ramadhan ya, sama gak sih yang saya alami juga dialami semua moms di sini?
Kehabisan bahan masak saat berbelanja atau antri beli makanan-camilan-minuman karena
heboh ramadhan. Gak percaya? Tapi ini saya alami dimana-mana loh, dulu waktu
masih ikut orangtua sampai saya menikah tinggal di Jakarta Selatan dan sekarang
di Depok, sama.
Saya masih ingat betul,
dulu saat belum menikah dan masih berpuasa di rumah orangtua ketika membeli es
kelapa harus dimulai dari pukul empat sore, kalau tidak antriiiii...selain
capek berdiri-seringnya kehabisan. Lalu saat tinggal di Jakarta Selatan,
tepatnya wilayah Jagakarsa betapa kalau belanja ke tukang sayur telat
sedikit..ludesss.
Dan kini saat tinggal
di Depok hal serupa saya alami, tidak hanya kehabisan di tukang sayur yang biasa
lewat depan rumah, atau kehabisan camilan tempe mendoa di pinggir jalan yang
buka sore dan tutup jam delapan malam, tapi kehabisan di..mini market!
Jadi kemarin karena
hari pertama sahur, kami mau beli persediaan bahan makanan yang bisa simpel
diolah saat sahur. Karena di kulkas masih kosong, kami berencana ke mini market
yang tidak jauh dari rumah untuk membeli ayam. Ayam simpel banget kan,
diungkep-simpan kulkas-begitu butuh tinggal goreng. Selain ayam, mau beli
sayuran yang gampang diolah: kangkung atau bayam, plus camilan cireng.
Pagi-pagi tetangga
sudah ngajak ke mini market, tapi saya
memilih untuk berbelanja sore sekalian bawa Pendar jalan sore dan
teryata....trantam! Sekitar dua jam kemudian tetangga balik: “Bu Eni, untung
gak kesana. Antriiii, habis-habisan sampai telur, ayam, gak kebagian.”
Tetangga itu melapor
sambil menggendong batitanya yang tampak keruwel. Rupanya kondisi mini market
yang biasanya nyaman berubah menjadi pasar tradisional yang padat. Kondisi ini
mirip dengan ramdhan tahun lalu, kebetulan saya di Depok sudah melewati dua
ramadhan.
Alhamdullilah, tadi gak
jadi ke mini market itu. Ramadhan tahun lalu baru saya ingat kembali, saat mau
membeli stock sahur. Lorong-lorong mini market berjejal pembeli, barisan ayam-daging
dipenuhi ibu-ibu antri, bagian sayur mayur tinggal sisa-sisa bahkan mau beli
cabe pun sudah habis.
Akhirnya sahur ramadhan
pertama saya cuma beli 1kg telur di agen telur dekat rumah yang tersedia
berbak-bak besar aneka telur. Besok paginya saya belanja seperti biasa,
menunggu tukang sayur lewat depan rumah. Rencana hari ini untuk berbuka masak
sayur bening, bakwan jagung, tempe dikecapin dan telur balado, camilannya kolak
lengkap-buat sahurnya yam ungkep. Tapiiii...jagung habis, isi kolak cuma ada
kolang kaling-labu parang, tempe,ayam habis.
“Tumben, Tut, serba
habis?”
“Iya, Bu, puasa apa aja
laku,” kata tukang sayur bernama Tuti yang berusia masih belia. Namun rautnya
dimakan matahari sehingga terlihat lebih tua dari usianya. Ramadhan tahun lalu
Tuti masih bondolan, sekarang cukup manis dengan jilbab pink.
Karena masakan yang
direncanakan buyar, jadi seadanya yaitu menu sederhana yang saya sebutkan di awal
tulisan sementara suami sepertinya mupeng gorengan. Kelilinglah pukul 5 sore
mencari gorengan, hasilnya... HABIS!
Ampun, padahal biasanya
tukang gorengan berbaris di jalan menunggu pembeli dengan bertumpuk-tumpuk
gorengan yang kadang sudah tidak panas lagi. Inilah fenomena ramadhan!
“Nafsu lapar itu
seperti raksasa, ketika perut belum terisi semua yang dilihat ingin dilahap,
itu nafsu. Padahal ketika sudah sedikit saja kenyang, yang lezat pun terasa
biasa...” itu ucapan Bapak saya dulu, ketika saya masih kecil.
Pada kenyataannya
memang begitu, setiap bulan ramadhan seolah ada fenomena: Apa yang dijual pasti
laku asal bisa dimakan. Tidak percaya? Saya mengalami berapa
kali membeli lauk di pinggir jalan atau jajanan dadakan yang kalau ramadhan
datang berbaris menyemut di sepanjang jalan. Jalan yang kalau bukan ramadhan
sepi-sepi saja, antri yang beli..rasanya? Sukses bikin kapok-pok. Tapi tadi
saat belinya antriiiiiiii.
Jadi?
Ya, jadi seperti ucapan
yang pernah Bapak saya katakan berpuluh tahun lalu..NAFSU LAPAR ITU SEPERTI
RAKSASA. Kita bisa menjadi manusia yang rakus, boros, dan serakah. Membeli apa
saja yang terlihat oleh mata, padahal apa tujuan berpuasa?
Puasa adalah untuk
membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua
perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah (surah Al-Baqarah [2]:
183)
Mungkin, saya berandai-andai
jika berpuasa kita tetap seperti sehari-hari ketika mengolah menu, membeli
sesuatu untuk dimakan, bisa jadi fenomena HARGA NAIK di bulan ramadhan tidak
ada. Coba, walau harga naik kalau pembelitnya standart saja, apakah harga akan
bertahan naik?
Tukang sayur yang
sehari-sehari sebelum ramadhan dengan harga standart dagangannya bersisa-sisa,
tapi begitu ramadhan dengan harga selangit-perbandingan ayam yang biasanya
Rp.40.000.- jadi Rp50.000.- , kok malah ludes-laris???
Tapi memang kita boleh
saja membuat menu yang lebih istimewa di saat bulan ramadhan, seperti kolak
yang biasanya tidak ada di meja makan, jadi ada. Selain kolak menjadi hidangan
yang ‘mendadak’ ada fungsinya jelas, menu yang manis memang dianjurkan saat
berbuka untuk menambah tenaga, apalagi dihidangkan hangat-hangat sebagai
pembuka hidangan awal.
Tapi (tapi lagi nih) jangan juga lantas jadi memaksakan diri
mengadakan yang tidak ada atau bermewah-mewah karena nafsu lapar yang
mempengaruhi. Seperti percakapan ibu-anak yang pernah saya dengar di sebuah
angkot:
- Anak: Ibu nanti bukanya masak kolak ya
- Ibu: Nanti kalau Ibu ada uang lebih, yang pentig beli lauk dulu.
Tadi pagi saya belanja
bahan-bahan kolak yang cuma tinggal sisa di tukang sayur:
- Kolang kaling Rp4000.-
- Labu parang Rp.7000.- (sepotong tidak terlalu besar)
- Kelapa Rp.6000.- (satu butir tapi hanya saya pakai sebelah, karena saya tidak suka santan kelapa instan)
- Gula merah Rp.4000.-
Moga, kita tidak
menjadi golongan yang berpuasa dan berbuka dengan nafsu, aamiin
wehhee... emang seringkali kudu hati2 klo brbuka puasa.
ReplyDeletejgn2 hanya balas dendam krna seharian ga makan, jadinya buka sama sahurnya hura2 hhee
nice share mba Eni ^_^
Khoirur Rohmah:memang godaan banget makanan enak ya hehehe
ReplyDelete