Hujan
jatuh ke bumi, rintiknya begitu telatur, pertemuan hujan dan bumi seperti
pertemuan dua insan yang dimabuk cinta. Aku bisa melihatnya dengan jelas,
lihatlah! Kilau air hujan yang jatuh dan lumer menyatu di tanah. Sebegitu
rindunya kah alam? Setelah kemarau panjang, akhirnya hujan datang. Tentu saja
kerinduan itu tidak terkatakan.
Bau tanah menyebar, menyelusup
rongga hidung. Reflek tanganku bergerak hendak membuka kaca buram angkot yang
berjalan tergucang-gunjang sejak dari terminal Aweh tadi, karena jalan yang
dilewati tidak beraturan.
“Din, kok dibuka, bisa basah dong. “
Maya yang duduk di bangku depanku, menepuk lututku. Matanya memberi isyarat
kalau penumpang lainnya di dalam angkot ini pasti akan protes.
“Aku mau mencium bau hujan dan
tanah, “ bisikku, tapi tangan yang tadi kugerakkan untuk membuka kaca tertunda.
Kupikir, benar juga. Pasti penumpang di kiri kanan dan depan akan protes berat
jika kaca jendela angkot kubuka. Mereka, tidak hanya mereka tapi barang bawaan
mereka pasti akan basah. Kekonyolan apa, mau mencium bau hujan dan tanah.
Wajah-wajah polos dalam angkot ini pasti akan menatapku heran.
“Hanyang
Baduy, Neng?” Seorang wanita setengah baya, dipangkuannya ada sekantong
plastik besar, sepertinya berisi sayuran, bertanya padaku. Sinar matanya ramah,
senyumnya tulus, mengukir kerut yang semakin banyak di wajahnya.
Aku hanya melongo, kemudian membalasnya
dengan senyum lebar.
“Muhun, Bu, kami rek Cibeo,” Maya
langsung menyambar. Gadis itu memang bukan baru pertama kali ke Baduy, sementara
aku baru kali ini, itu pun karena perjumpaanku dengan Zakri.
Aku menarik napas dan
menghembuskannya pelan-pelan, terlihat Maya mengobrol dengan wanita setengah
baya tadi, entah apa yang mereka bicarakan. Aku menginginkan angkot ini bisa melesat
lebih cepat lagi, aku tidak sabar untuk bertemu Zakri.
Sebulan lalu saat aku ke kost’an
Maya di Jagakarsa, saat itu masih musim kemarau. Zakri dan kawan-kawannya, dua
pria tua, bertandang. Mereka mengenakan pakaian dengan atasan putih, bawahan
kain pendek berwarna biru kehitaman dan ikat kepala putih. Sebenarnya tidak
benar-benar putih, tapi putih yang mulai berbaur dengan abu-abu atau kekuningan
oleh karena waktu dan debu. Aku tahu itu, sebab aku penyuka warna putih selain
hijau tosca.
“Mereka tidak pernah mencuci dengan
sabun, mereka benar-benar orang-orang yang menjaga bumi dengan kejujuran, “ kata
Maya saat aku mempertanyakan, mengapa aroma mereka begitu menyengat. “Selain
itu...” Maya menatapku, serius.
“Kau
tahu, mereka menempuh perjalanan Baduy Dalam ke Jakarta dengan berjalan kaki
tanpa alas. Itu semua bagian dari menjaga harmoni alam.”
Spontan aku menggelengkan kepala, “Mungkin
jika di Baduy Dalam, mereka memang harus berjalan kaki karena tidak ada
transportasi. “
“Tapi
ini di kota, May, di mana transportasi aneka rupa dan mereka membiarkan telapak
kakinya terbakar selama berkilo-kilo?” Aku tidak bisa memahami.
“Hukum adat teu meunang dirobah,” Zakri membuka suara buatku. Suaranya pelan,
gesture tubuhnya malu-malu tapi kedua bola matanya yang cokelat bening begitu
tajam, menunjukkan apa yang dimaksud hukum adat itu benar-benar dijunjung
tinggi.
“Hukum adat mereka tidak bisa diubah
dengan alasan apa pun, Dinar, “ Maya memperjelas, dan aku tetap belum
memahaminya.
“Aku ada rencana ke Cibeo bulan
depan, sebaiknya kau ikut,” usul Maya.
“Ulin
ka Cibeo, Mba Dinar, biar lebih akrab dengan kami,” Zakri mulai membuka
percakapan panjang meski gesture tubuhnya tidak berubah.
“Nah, Zakri juga menawarkanmu untuk
main ke Cibeo,” Maya bersorak.
“Kebetulan
lagi musim duren sama pete,” Zakri angkat bicara lagi.
“Oya?” bola mataku membulat
mendengar kata ‘duren’, aku penggemar daging buah durian. “Tapi sejauh apa ke
Cibeo?” sejenak aku meragu. Membayangkan apa yang Maya ceritakan meski
sepotong-sepotong, aku bisa mengerti kalau Baduy Dalam itu bukan jarak yang
dekat.
“Kalau dari sini jalan jeung kita memang jauh,” Zakri mencoba
bergurau. Saat tertawa, aku bisa melihat
susunan giginya yang besar dan kuning gading. Tentu saja, jika sabun tidak
boleh dipergunakan, odol atau pasta gigi juga tidak boleh.
“Dari stasiun Beos ke terminal Aweh lalu
lanjut dengan angkot menuju Ciboleger, dan... jalan kaki sampai Cibeo.” Maya
memberi gambaran.
“Dari Ciboleger ke Cibeo?” Rasa
penasaranku bertumbuh. Melihat bentuk kaki Zakri dan kedua kawannya, itu
kaki-kaki kokoh yang terlatih menempuh jarak sangat jauh. Kaki mereka pendek,
jari-jarinya membentuk potongan jahe, jarak satu sama lain agak berjauhan dan
digarisi urat kebiruan.
“Yang terpenting sebelum kita ke
sana, kau banyak latihan lari,” ujar Maya.
Baiklah. Aku memutuskan untuk menerima
tawaran Maya menuju Cibeo, aku pun berpesan kepada Zakri untuk memilihkan buah
durian yang matang pohon. Menurut cerita laki-laki itu, buah durian di Cibeo
tumbuh di hutan dengan liar. Rasanya legit sekali.
“Rasa durian Baduy nyaeta kadua taya...” Begitu Zakri
menggambarkan tentang durian Baduy yang tentu saja, ditranslitkan oleh Maya.
“Din, sudah sampai,” aku merasa
untuk kedua kalinya lututku ditepuk.
Astaga! Sudah berapa lama mataku
asyik menatap ke luar jendela, sibuk dengan pikiranku sendiri. Tahu-tahu wanita
setengah baya tadi sudah tidak ada, mungkin tadi turun lebih dahulu dan kini
penumpang lainnya berebut keluar dari angkot kecil yang sesak. Menurut cerita
Maya, angkot menuju Ciboleger tidak banyak, pukul lima sore sudah habis. Jadi,
angkot ini bukan angkot terakhir karena arloji ditanganku menunjukkan pukul
satu siang. Di luar hujan masih turun, tapi tidak lagi deras hanya berupa
rintik saja.
“Mba Mayaaaaa!” seorang lelaki
seusia Zakri, namun perawakannya lebih tinggi dan langsing menghampiri kami.
Sejenak aku memperhatikan pria itu secara keseluruhan, pakaian yang dikenakan
semua serba hitam, kakinya mengenakan alas sandal jepit.
“Kartaaa!” Maya menyambut lelaki
itu, terlihat benar keduanya sudah sangat kenal lama.
“Dinar, ini Karta dari Gazebo suku
Baduy Luar. Dia menjemput karena sudah diberitahu Zakri kita mau datang hari
ini.” Maya memperkenalkan aku dengan Karta.
Aku menyambut uluran tangan Karta.
Jadi ini perbedaan penampilan Baduy Dalam dan Baduy Luar, diam-diam aku mulai mempelajari.
“Oya,
kita akan bermalam dulu di rumah Karta, baru besok pagi Cibeo besok pagi.”
“Kita tidak langsung menuju Cibeo?”
“Kita tidak langsung menuju Cibeo?”
“Kau yakin bisa langsung ke Cibeo?”
lirikan mata Maya menggoda, membuat aku menyerah karena pasti apa yang
diucapkannya memiliki maksud. Ah, aku kini mencium bau hujan dan tanah yang
jauh lebih menyengat.
“Hati-hati tanahnya licin.” Karta
memperingati, dibanding Zakri dan kedua temannya, Karta jauh terlihat lebih
familiar, terbuka. Matanya tidak secokelat Zakri, juga tidak tajam. Matanya
hitam dan bersinar jenaka, seperti mata kebanyakan orang. Dia cukup baik
membawakan ranselku, dan mendampingku menyisir tanah Baduy.
Sementara
Maya berjalan begitu kokohnya, alam dan dirinya sudah menjadi satu. Bisa
dilihat bagaimana kakinya yang terbalut sandal bertali menapak tanah licin
tanpa ragu, menyapa rumput, bebatuan,
tanah, air hujan yang tergenang. Berbeda dengan kakiku meski sama-sama
terbungkus sandal bertali. Tanah, batu, rumput dan genangan air berkali-kali
nyaris menggelincirkan langkahku kalau saja Karta tidak sigap menyambar
tanganku.
Kutarik napas dalam dan
menghembuskannya cepat. Maya mencintai alam dan alam sudah jatuh cinta pula
pada gadis manis itu. Aku menyaksikan
dengan takjub, bagaimana rintik hujan menjatuhi helaian rambut Maya menjadi
bulir cahaya bak perhiasan yang disematkan ke rambut. Sementara aku memilih
memakai topi untuk menghalangi air hujan.
“Akhirnya sampai juga kita, “ suara Karta disertai helaan napas
lega.
Aku termangu, masih kaget oleh jarak
tempuh dan menyadari dengan sempurna mengapa Maya tidak langsung membawaku ke
Cibeo. Di depan terdapat rumah panggung, rumah yang serupa aku temukan dalam
perjalanan tadi. Kami disambut keluarga Karta dengan ramah dan riuh. Di rumah
itu terdapat orangtua Karta yang masih cukup muda, lalu istri dan dua anaknya.
Lelaki semuda itu ternyata sudah menjadi seorang Ayah.
“ Setiap mengunjungi Baduy, aku
selalu bermalam di sini, Din,” kata Maya setelah kami duduk menikmati kopi, kopi
yang beraroma wangi dan sensasi bau asap dari kayu bakar yang dibuat menjerang
airnya. “Aku mengenal Karta dari dia belum menikah, aku kenal dia sedekat aku
kenal Zakri.”
Aku mengangguk, menyimak setiap kata
yang Maya ucapkan. Minuman kopi kemudian berganti hidangan makan besar. Kami
makan bersama-sama di beranda rumah Karta, ada nasi merah, ikan asin, pete
bakar. Harumnya membuat hidangan sederhana itu terasa mewah.
“Hayuk,
urang dahar sakenyangnya...” Ayah Karta mempersilakan. Senyumnya demikian lebar
dinaungi kumis tebal.
Kami makan dengan piring-piring
putih dari keramik. Karta sibuk menyendokan nasi ke piring Maya, keduanya juga
berbagi pete bakar, keakraban yang tulus. Istri Karta sibuk menuangkan air
putih, yang ketika kuteguk menguap aroma asap yang kuat. Awalnya terasa sedikit
asing, namun ketika menyusul sekepal kecil nasi merah dan sepotong ikan asin ke
mulut. Aroma asap menyatu dari segala arah, rasanya unik dan membuat aku lahap.
“Kau tahu, ketulusan mereka ini
selalu melahirkan rasa rindu sejauh apapun aku pergi.” Itu diucapkan Maya
menjelang tidur, ketika bumi menjadi benar-benar gelap dan hanya diterangi
lampu minyak kecil. Bahkan untuk melihat telapak tanganku sendiri, tidak
terlihat. Di luar masih mendung meski hujan tidak lagi jatuh.
Aku menarik krah sweaterku hingga full menutup sampai permukaan bibir.
Angin malam menyelusup dengan bebas melalui lubang di dinding bambu, memeluk
seluruh tubuhku hingga hangat sweater terabaikan. Begitu dingin, aku kedinginan
dan mencoba bergulir lebih dekat ke tubuh
Maya yang dilapisi jaket parasut.
Gadis itu tidak terdengar lagi
suaranya, hanya napas halusnya terdengar sayup, lebih kencang suara tangis
putra kedua Karta yang tiba-tiba terbangun dan menangis. Mungkin batita kecil
itu kedinginan hanya mengenakan pakaian dari kain hitam yang tipis tanpa kaos
kaki atau pun topi. Namun tangisnya perlahan reda begitu mendengar suara Ambu’nya menggumamkan nyanyian. Aku
mendengar nyanyian berbahasa Sunda yang tidak kumengerti artinya, tapi terasa
sendu di telinga. Menghadirkan rasa kantuk yang sulit ditolak, mungkin aku pun
tertidur karena suara nyanyian itu.
...
Membasuh diri ala kadarnya karena
angin pagi sangat tidak bersahabat, telapak kakiku saat menyentuh air sungai
terasa beku, mati rasa. Kulitku berangsur memucat, sementara Maya asyik
membersihkan diri secara keseluruhan.
“Ayolah, Dinar, hanya di sini kita
bebas menggunakan sabun, shampo. Besok setelah keluar Cibeo lagi, baru kita
bisa merasakan nikmatnya gosok gigi!” Maya
berteriak karena suasana di sungai lumayan riuh. Para wanita Baduy sibuk
beraktifitas, mulai dari mencuci piring, baju hingga membersihkan diri.
Aku menggeleng, gigi-gigiku terasa
bergoyang menahan dingin. Sebaiknya menggosok gigi saja, cukup. Aku tidak kuat
berlama-lama di sungai.
Usai menyantap sarapan yang
disediakan istri Karta, Maya berpamitan untuk menuju Cibeo. Karta mengantarkan
sampai perbatasan Baduy Luar dan Dalam yang dibatasi sungai berair sebening
kaca dengan jembatan dari jalinan akar. Aku merasa begitu takjub dengan
jembatan itu, betapa alam menyediakan semuanya dengan sempurna.
“Alam memberi mereka secara
sempurna, karena mereka memberikan kesetiaan yang sempurna juga kepada alam,”
kata Maya.
Ya, ya, saling setia antara alam dan
isinya. Aku menyapu bulir keringat yang bersembulan di kening, jika perjalanan
dari Ciboleger ke Gazebo membuat aku nyaris tergelincir berapa kali. Maka
perjalanan dari Gazebo ke Cibeo membuat aku haus berkali-kali, karena matahari
bersinar penuh. Suasana sekitar begitu sepi, hanya sesekali kami bertemu orang
Baduy Luar yang membawa bumbung bambu.
“Mereka menggunakan bumbung bambu untuk
mengambil air ke sungai atau air aren,” ujar Maya. “Kau dengan suara tak-tok
itu?”
Saat menaiki bukit aku mendengar
suara tak-tok yang terdengar dari jauh, suaranya menjadi begitu nyaring dan
fokus karena tidak ada suara lain. Alam Baduy benar-benar sunyi. Ketika kami
dekat dengan suara itu, Maya menunjuk ke atas,
“Masyarakat Baduy menyadap pohon aren untuk diambil airnya dan dijadikan
tuak, gula merah.”
Aku melihat sesosok pria berpakaian
serba putih tengah mengarahkan goloknya ke batang bunga nira, dan di bawahnya
ada bumbung bambu yang diikat. Saat pria itu melihat ke arah kami, dia melambai
dengan goloknya dan Maya berteriak keras, “Mang Roja!”
Mang Roja membalas, “Ditunggu diimah, Neng!’
“Mang Roja Ayahnya Zakri. Katanya kita
sudah ditunggu Zakri di rumah,” bisik Maya. Setelah mengucapkan terima kasih,
kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri lembah, dataran, tanah masih sedikit
becek, rerumputan tersembul hijau. Sesekali aku meminta berhenti di
gubuk-gubukan yang kosong, kata Maya gubuk itu memang dibuat untuk tempat
peristirahatan siapa saja. Kami minum serta makan bekal yang dibuatkan istri
Karta, nasi merah dan ikan asin yang dibungkus daun pisang, harum sekali.
“Sedikit lagi kita sampai, begitu
terlihat jembatan Baduy Dalam... langsung Cibeo. Semoga hujan tidak turun malam
ini karena Cibeo lebih dingin dari Gazebo,” ujar Maya.
Spontan aku melotot, “Coba aku bawa sleeping bag,” keluhku.
“Buat apa ke Baduy kalau tidak
merasakan alamnya, mau hangat tidurlah di kamarmu,” seloroh Maya. Kami sudah
meneruskan perjalanan kembali, angin berhembus menggoyangkan daun-daun di
kiri-kanan.
Aku hanya manyun dengan seloroh Maya
sehingga tawa gadis itu pecah. Memecah sepi membuat seekor kupu-kupu yang
hinggap di bunga warna ungu, melonjak terbang jauh. Di sini segala serangga
hidup dengan makmur, aku lihat tidak hanya kupu-kupu, tapi juga belalang sembah
kehijauan yang terlihat menggerak-gerakkan kedua kakinya di atas batang pohon,
segerombolan kepik emas yang berbaris di tepi daun.
Sederhana, tapi pemandangan alam
yang mulai punah. Setidaknya di kota besar macam Jakarta, aku kehilangan
serangga-serangga itu. Nyamuk dan lalat justru yang meruyak tidak tertelan
jaman, sekejam apapun jaman berlangsung.
“Lihat, itu rumah Zakri!” tiba-tiba
Maya berseru setelah kami menyeberangi jembatan.
Aku melihat sebuah perkampungan
kecil yang dikelilingi hutan dan sungai, kondisi tempat tinggal di sini jauh
lebih sederhana dari di Gazebo, juga lebih kecil, lebih sedikit jumlah
gubuk-gubuknya dan...tentu saja lebih sunyi.
Tidak tampak seliweran orang seperti
di Gazebo, jika kebetulan bertemu warganya terutama wanita, pasti melengos.
Kalau pun disapa hanya membalas sekilas dengan senyum takut-takut, berbeda
dengan di Gazebo, wanitanya disapa akan membalas menyapa, senyumnya lebih lebar
dan berani.
“Mba Maya!” suara keras dari seorang
pria yang sangat aku hapal sosoknya membuat kami bersorak senang. Zakri
terlihat turun dari tangga gubuknya, menyambut ramah. Tidak seperti di rumah
Karta, anak istrinya ikut menyambut. Ini hanya Zakri saja, apakah Zakri belum
menikah?
“Mba Dinar, di dieu teuing?” Rupanya Zakri masih mengingatku dengan sempurna.
Ketika masuk ke dalam gubuknya, baru
terlihat istri Zakri. Wanita muda yang mungil, berkulit kuning dengan rambut
keriting cokelat, bola matanya bening
juga kecokelatan seperti milik Zakri. Hanya saja, bola mata istri Zakri tidak
tajam, tapi lembut dan lugu. Kami disuguhi air putih dan gula aren. Air putih
disajikan dalam botol dan cangkir-cangkir berupa cawan putih. Selesai menyajikan minum, istri Zakri
menghilang ke dalam, tidak keluar lagi. Hanya sesekali terdengar suaranya
serak-serak basah menidurkan bayinya.
Tidak lama kemudian obrolan kami
jadi ramai, karena dua teman Zakri yang waktu itu aku temui di kost’an Maya
datang membawa durian. Tercipta obrolan cukup riuh disertai aroma wangi durian
yang menyengat. Sungguh, bulir durian Baduy Dalam ini memiliki daging yang
legit sekali, meski tidak setebal durian montong.
Tuhan punya segala media untuk
menurunkan anugerahNya.
...
“Aku mau mandi, May,” ujarku begitu
hari mulai menuju senja. Sejak turun dari angkot Ciboleger kemarin, aku belum membersihkan
diri dengan sempurna.
“Oya, aman kan, lokasi mandinya.
Tidak mungkin ada akses buat mengintip?” aku berbisik cemas. Tidak biasa mandi
di alam terbuka, rasanya berbagai perasan tidak nyaman terbayang.
Maya tertawa, lalu melotot ke arahku
dengan serius, “Kau tahu seperti apa masyarakat Baduy memegang teguh adat
istiadat, seperti itu lah kejujuran mereka. Di sini sungai untuk mandi
laki-laki dan wanita terpisah.”
Sungai untuk mandi para wanita di
Cibeo jauh lebih jernih dan rindang dari sungai-sungai yang kulewati saat
memasuki Baduy. Pohon besar menaungi, angin
sore meniup daun-daun. Tiba-tiba rasa gatal karena sejak kemarin belum
membersihkan diri menggodaku untuk menggunakan sabun cair yang kubawa, cukup
sedikit saja masakah merusak harmoni alam. Dengan sembunyi-sembuyi dari
penglihatan Maya dan beberapa wanita Baduy yang tengah membersihkan diri, aku
menggosok kulit dengan sabun cair, segar. Derasnya air sungai mengaburkan aroma
dan buihnya.
Namun berapa saat kemudian, tubuhku
dipenuhi bintik menyerupai kulit tokek. Astaga, kenapa ini? Hingga Cibeo
dinaungi malam, bintik di seluruh tubuhku nyaris menyeluruh, rasanya tidak
gatal tapi aneh. Aku merasa seperti diselubungi sesuatu yang aneh, mencekam.
“Maya, kau lihat kulitku?” karena
tidak tahan, aku membuka sweater dan menunjukkan ke Maya, malam ini setelah
selesai makan malam bersama keluarga Zakri.
“Kau biduran, alergi dinginkah?”
Aku menggeleng dan rupanya Zakri
membaca kegelisahanku, laki-laki itu menghampiri. Melihat lenganku hingga batas
siku, terlihat ekspresi wajahnya terkejut, dan kudengar suara tertahan di
tenggorokannya, “Mba Dinar, dikentutin jurik...”
Dikentutin jurik? Aku melempar
pandangan ke Zakri dan Maya bergantian.
“Mba Dinar, ngalanggar larangan urang?”
Sorot mata Zakri begitu tajam, lebih tajam dari yang pernah kulihat sampai aku tertegun.
Adakah sesuatu yang terjadi?
“Din, kau melanggar sesuatu yang
tidak diperbolehkan?” Maya ikut bertanya dengan nada pelan, hati-hati namun
tatap matanya penuh selidik.
Sesaat aku terdiam, kemudian dengan
gemetar kuceritakan tentang sabun cair di sungai tadi sore. Sedasyat itukan
efeknya? Aku masih belum mengerti.
“Saya harus meminta tolong Kokolot,” kata Zakri cepat, lalu berserta
salah satu warga Cibeo, diantara kegelapan malam memanggil seorang pria
setengah baya yang disebut Kokolot
atau dukun.
Pria
setengah baya itu tidak banyak bicara, hanya memintaku untuk menceritakan semua
pelanggaran tadi sore. Entah, mantra apa yang diucapkannya sambil memegang sebatang
umbi semacam jahe yang didekatkan ke bibirnya, dibaca-bacakan, lalu diserahkan
ke istri Zakri.
“Bangle
ieu disemprot sakumna awaknya...”
Istri Zakri yang selalu terlihat
diam, memberiku isyarat masuk ke
biliknya. Sebuah kamar yang hanya dibatasi bilik bambu dan kain tirai hitam. Untung
bayi Zakri tertidur pulas.
“Baju kabuka...” ujarnya kemudian. Ketika
melihatku terpaku, lagi-lagi dia memberi isyarat. Isyarat agar aku membuka
baju. Umbi menyerupai jahe yang tadi diberikan lelaki baya yang membaca mantra,
dikunyahnya hingga hancur dan...disemburkan ke seluruh tubuhku. Hujan bau-bauan
rempah yang asing jatuh ke tubuhku. Aku hanya dapat terdiam menahan napas. Merasakan
dingin yang memilin dari hembusan angin di atas atap yang hanya ditutupi daun
rumbia juga hembusan angin dari bawah yang merupakan rumah panggung. Sementara
di luar bilik kamar, masih terdengar suara-suara Maya, Zakri dan yang lain.
Apa
yang terjadi, dalam hitungan menit hilang semua bintik dilkulitku. Hilang semua
perasaan yang menyelimuti. Aku merasa seperti baru keluar dari mimpi buruk.
“Nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu
dienyakeun nu ulah kudu diulahkeun, Mba Dinar...”
Aku
tersentak, istri Zakri mengeluarkan suara yang cukup panjang dengan tatapan
mata yang demikian fokus padaku. Saat itu aku sudah mengenakan seluruh bajuku,
berdiri tak bergeming.
“Yang
bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar, yang dilarang
harus dikatakan dilarang.. begitulah mereka menjaga alam, Din.” Suara Maya
menarikku, gadis itu sudah berdiri di dalam bilik.
Dan,
menyusul suara Zakri seperti jarum yang menusuk labirin telinga, “Hukum adat teu meunang dirobah...”
Hingga
saatnya meninggalkan Cibeo kepalaku tidak mampu terangkat, hanya merunduk dalam.
Seakan dalam sekejap bumi mengasingkan diriku, aku malu sekali pun hanya untuk
menghirup bau hujan dan tanah..
Jadi kangen ke Baduy lagi
ReplyDelete