Sunday

Dongeng Keluarga Di Meja Makan


Semua, apa yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini adalah berawal dari  sebuah undangan Tupperware dengan tema Meja Makan Punya cerita...

 Jumad, 20 Mei 2016 saya mendapat undangan Blogger Gathering dalam acara peluncuran kampanye “Meja Makan Punya Cerita” bersama Tuppeware di  Head Office Tupperware Indonesia, Gedung South Quater Tower A, Lantai 12, Jl. RA Kartini Kav.8, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.

Begitu memasuki ruang gathering, undangan disambut warna hijau muda yang cantik dan menyenjukkan, kebetulan saya suka sekali warna itu. Jadi menyesal tadi mengganti dress saya, karena sebetulnya dari banner undangan saya sudah menduga warna apa yang akan menyemarakan acara tersebut. Tapi karena suatu hal, saya mengganti gaun bunga-bunga hijau muda dengan terusan dominan warna hitam.



Percaya tidak, warna yang mendominasi ruangan gathering membuat suasana hati berseri-seri.  Setiap meja peserta tersedia seperangkat produk saji terbaru dari Tupperware: Petite Blossom yang berwarna green avocado yang cerah, fresh dan cantik-mungil. Jangankan menyantap hidangan yang tersaji di atasnya, melihat rangkaian produk saji terbaru Tupperware ini saja saya sudah berasa ingin makan, menggugah selera.







Acara yang seru menjadi begitu mengena di hati, jleb. Ketika Ajeng Raviando, Psikolog anak dan keluarga membicarakan pokok tema acara ini: Meja Makan Punya Cerita, kata beliau:




“Jika tradisi bersantap di rumah menghilang, maka orangtua dan pasangan tidak mempunyai kesempatan menanamkan nilai-nilai yang akan diangkat dalam sebuah keluarga. Sehingga yang terjadi seperti sekarang, yakni generasi yang acuh...”

Haduwww... ada rindu yang seketika menindih hati saya. Tahukah? Tiba-tiba saya terbawa kenangan lama. Semasa ritme hidup tidak terlalu melaju pesat, dunia sosmed belum meruyak dan...gadget belum menjadi tuan yang paling berkuasa-juga di saat saya belum memiliki keluarga kecil (menikah), makan bersama keluarga adalah salah satu ritme yang paling mengasyikan.

Meja makan itu sederhana saja, biasa aja, tidak masuk dalam golongan benda mewah, hanya terbuat dari meja kayu berlapis taplak biru dongker dengan kursi kayu tanpa detail yang istimewa, tapi seperangkat meja makan itu menjadi tempat teristimewa di rumah kami, tepatnya rumah Ibu dan Bapak.

Menjadi istimewa karena merupakan pusat bertemunya kami secara utuh, menikmati masakan Ibu yang lezat, bercerita apa saja yang terjadi atau kami alami sehari-hari. Entah, hanya cerita perkelahian kecil di sekolah, keisengan kami mencuri jambu di pagar tetangga, sampai kami beranjak remaja cerita berganti dengan obrolan siapa yang kami taksir, siapa yang tidak kami taksir. Kadang juga olok-olok tidak berarti hingga kami beranjak dewasa obrolan berganti dengan suasana kantor, siapa calon pasangan, dan lain sebagainya.

Bapak dan Ibu hanya menyimak, sesekali ikut bicara panjang lebar jika sudah membicarakan pekerjaan dan calon pasangan hidup anaknya. Aku tidak lupa itu, masih sempurna mengingatnya, termasuk satu benda yang paling menarik di meja makan, yang paling aku cari saat bangun tidur dan menjelang malam: Teko teh hangat yang diselimuti penghangat berbentuk ayam jago warna hijau muda.

Jadi kalau sekarang ada banyak tersedia wadah teko yang dirancang membuat isinya tetap panas dalam waktu  lama, maka pada masa itu ada semacam sarung teko yang tebal dengan bentuk yang cantik beraneka ragam. Sarung teko tersebut berfungsi untuk membuat air dalam teko tetap panas dalam waktu lama.

Saya penyuka teh manis hangat, jadi teko berselimut ayam jago itu lah yang paling saya cari, sarapan atau makan malam tanpa teh manis hangat rasanya kurang puas, dan...saya masih melakukan ritme yang sama sampai saat ini.

“Mau Ibu buatkan teh hangat, Nduk?” bahkan begitulah Ibu menyambut kedatangan saya, selalu setiap berkunjung ke sana.

Lalu menu sayur asam-sambal-ikan asin kesukaan saya, ikan emas goreng kegemaran saudara-saudara saya, pecel sayur favorit Bapak, selalu setia di atas meja makan. Ibu menyajikan dengan bahagia dan tentu saja..ikhlas.

Semua tersaji dalam wadah sederhana, mangkuk-mangkuk keramik bening, piring-piring bening, hingga semua yang di meja semarak warna bening. Sesekali Ibu meletakkan bunga sepatu yang dipetiknya dari kebun, dalam vas bunga berleher panjang warna hijau muda. Saat itu kesederhanaan itu terasa mewah buatku, aku merasa duduk dalam meja  makan yang ‘wah’. Dan, hanya pada saat Idul Fitri vas bunga berleher panjang itu berisi bunga sedap malam.

Menyantap hidangan dengan semangat, terlebih jika waktu sarapan dan makan malam. Namun seiring waktu, saat anak-anak Ibu sudah berkerja, makan malam kadang tertinggal. Entah, karena kami lembur, atau ke luar kota. Tapi yang masih kuhapal dalam ingatan, ibu menemaniku makan malam meski tidak ikut makan.

“Tadi sudah makan malam sama Bapak...”

Dalam suasana berdua saja karena Bapak yang semakin tua lebih cepat pergi tidur, dalam aroma teh dan melati, aku dan Ibu masih setia saling cerita. Cerita tentang suasana kantor, pekerjaan yang menumpuk dan..lelaki yang kemudian menjadi jodoh hidupku saat ini.

“Menurut Ibu, apakah aku akan baik-baik saja hidup bersamanya kelak?”
“Berdoalah yang baik-baik karena berumah tangga bukan sekedar menjadi pengantin lalu beres. Kau harus mulai belajar menyajikan menu di meja makan supaya suamimu betah,” seloroh Ibu ketika itu.





Ah, benar sekali... meja makan punya cerita, semacam dongeng keluarga yang akan menjadi kenangan indah dan perasaan yang menyatukan meski jauh, meski termakan waktu berpuluh tahun. Lihatlah, dalam suasana yang ceria, penuh warna green avocado aku menitikkan air mata.

Suami yang kebetulan mengantarku ke acara ini bertanya:
  •  “Kenapa?”
  • “Jadi inget Ibu sama Bapak, adik dan kakakku...” kataku pelan. “Juga anak-anak di rumah...” kebetulan kami tidak membawa dua anak kami, Lintang dan Pijar.
  • “Aku ingin mereka kelak punya kenangan yang indah tentang kita, punya kerinduan yang kental tentang kita, tentang adik dan kakak.”
  • “Kalau begitu kita mulai recanakan buged buat beli seperangkat meja makan...”
  • “Dan  Petite Blossom,” potongku cepat.
  • “Loh?”
  • “Kamu gak tertarik dengan suasana meja makan semarak hijau avocado, alat makan yang sehat seperti prodak Tupperware ini?”
  • “Ehmmm, iya juga. Anak-anak pasti suka makan dengan peralatan makan begini.” Suami mengiyakan.
  • “Tidak kalah dengan meja restoran, apalagi sekarang Ibu sudah jago masak kan, Yah?”

Suami tersenyum, namun ada cahaya sedih saat mengatakan ini: 
“Jangan seperti Ayah, tidak punya kenangan indah di meja makan dimasa kecil dan remaja...”

“Tapi kan, sekarang Ayah punya keluarga kecil yang bisa dijadikan dongeng manis di meja makan saat kita tua nanti, “bisikku menutup percakapan ini karena acara pun usai saat hari menjelang sore... di luar hujan turun dengan derasnya. 



Alangkah hangatnya membayangkan malam ini kami bersama di meja makan, menyantap sup ikan kakap merah panas-panas, mendengarkan cerita anak-anak tentang hari ini, atau pun mendongengkan mereka tentang apa yang aku temukan di acara Meja Makan Punya Cerita dan pasti kedua anakku itu, Lintang dan Pijar, akan meminta berkali-kali agar aku mengulang cerita bagaimana masa kecil Ibunya dulu. 

Mungkin kelak, hal yang sama akan mereka lakukan pada anak-anak  mereka...





2 comments: