Doc: Eni Martini |
Judul : Wiji Thukul - Teka-teki Orang Hilang
SERI BUKU TEMPO Prahara-Prahara Orde BAru
Penerbi : KPG
Tahun Terbit: 23 Juni 2003
Tebal :160
Buku : Non Fiksi
ISBN : 9789799105929
Kalaulah
kelak anak-anak bertanya mengapa
Dan
aku jarang pulang
Katakan
Ayahmu tidak ingin jadi pahlawan
Tapi
dipaksa menjadi penjahat
Oleh
penguasa yang sewenang-wenang
(Wiji Thukul)
Lelaki cadel itu tak
pernah bisa melafalkan hurup ‘r’ dengan sempurna. Ia “cacat” wicara tapi dianggap
berbahaya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal
sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona.
Namun, penyair ini
membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai
agidator, penghasut. Selebaran, poster, stensilan dan buletin propaganda yang
ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan tokoh. Kegiatannya mendidik
anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap ORDE BARU. Maka ia
dibungkam. Dilenyapkan.
Wiji Thukul mungkin
bukan penyair paling cermelang yang pernah kita miliki. Sejarah Republik
menunjukkan ia juga bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penghilangan
paksa. Tapi Tukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut
diabaikan. Seorang penyair yang sajak-sajaknya menakutkan sebuah rezim dan
kematiannya kini menjadi misteri.
...
Berapa anak muda yang
tahu sebuah nama Wiji Thukul?
Berapa yang mau membaca
tentang Wiji Thukul?
Sebuah buku dengan
cover memberi kesan usang, bergambar seorang pria cidera mata, kuyu, kering:
Wiji Thukul. Barangkali diantara anda ada yang asing dengan sosoknya, saya pun
tidak mengenalnya secara fisikal. Namun perjalanannya sempat sampai ke telinga
saya saat era Soeharto dulu. Dimana poster-poster orang-orang hilang berbaris
di dinding-dinding cafe, warung, tiang listrik, mini market di sepanjang jalan
Bangka-Kemang Jakarta Selatan.
Orde baru berakhir,
saya sebagai rakyat kecil yang berada di ibu kota Jakarta mengalami detik-detik
krisis moneter, demo mahasiswa, massa yang mengamuk dan...Soeharto yang
berseru: AKU RA DADI PRESIDEN RA PATE’en!
Rakyat Indonesia
(mungkin seluruhnya berseru huru hara), termasuk sopir metromini yang saya
tumpangi ketika itu.. menggebrak setir dan menjeritlah seisi bus, seakan era
yang lebih indah akan mereka sonsong di depan sana...16 tahun pristiwa ini
berlalu.
Dibelakang keruntuhan
orde baru itulah Wiji Thukul ADA, seorang anak tukang becak dari kampung
Sorogenen-Solo, yang bekerja jadi tukang plitur kayu di sebuah perusahaan mebel
dan menyambi menjadi wartawan Masakini milik Muhammadiyah. Melalui
sajak-sajaknya inilah laki-laki kering itu MENJADI BURON dimata Orde Baru,
seperti yang diucapkan Robertus Robet Dosen Sosiologi UNJ:
“PUISI WIJI ADALAH
PERISTIWA BUKAN LAGI KATA-KATA... barangkali itu pula mengapa Wiji Thukul
dihilangkan...”
Peringatan
...Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya satu kata
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya satu kata
: LAWAN!
Ya, ya, membaca buku
setebal 160 hal, hati saya menangis. Saya seperti merasakan kerinduan Sipon
sang istri, Nganti sang putri dan Fajar sang putra serta ketakutan-ketakutan
Wiji saat dalam pelarian karena menjadi orang paling dicari saat Orde Baru:
Ketika
sampai rumah dan menempati kamarnya di lantai dua, Thukul bertanya, “Mas, lewat
pintu mana untuk sewaktu-waktu bisa lari?” (hal:18)
Dalam
kamarnya Thukul selalu mengawasi orang-orang yang berlalu lalang... Selama
pekan-pekan itu dia tidak pernah keluar rumah kecuali setelah pukul 10
malam...(Hal: 19)
Begitu
menegak dua botol minuman tradisional
yang terbuat dari beras tape , barulah Thukul dapat tidur pulas...(hal:
20)
Itu terjadi di dalam pelarian
tukul di Kalimantan. Thukul selama orde baru melakukan pelarian dari mulai
Jakarta-Kalimantan-Solo-Bogor dll. Dia dititipkan dari satu orang ke orang lain hingga kemudian hilang
tanpa jejak.
Seorang seniman besar,
alm WS Redra pernah membuat gojekan(gurauan) bahwa Thukul di cor semen dalam
drum lalu dibuang ke tengah laut. Seorang sahabat bahkan memiliki versi cerita
yang sulit saya pahami bahwa Thukul meninggal saat kerusuhan melanda Jakarta,
mayatnya tidak dikenali....
Entahlah...
Yang pasti, seperti diharapkan
Sipon: “Saya yakin Thukul akan kembali...”
(Hal:69)
Dan dipikirkan para
sahabatnya: Yakin Thukul belum mati. Hanya
hilang dan suatu saat akan pulang (Hal: 133)
Hidup memang harus
penuh keyakinan, keajaiban diawali dengan keyakinan tapi jika 16 tahun berlalu
tanpa sebuah wujud, masihkah keyakinan itu dipertahankan???
Sebagai penutup resensi
saya tentang buku WIJI THUKUL Teka-teki Orang Hilang, sepertinya buku ini
SANGAT LAYAK untuk anda baca meski tentu tidak semenarik novel-novel yang
meruyak dengan suguhan MIMPI atau buku-buku nonfiksi lainnya. Tapi setidaknya
buku ini menyuguhkan realitas hidup pada masa Orde Baru... betapa kemudian anda
sadar bahwa kita wajib menelurkan generasi yang bermanfaat bagi negeri ini,
Indonesia.
Saat chaos 98 saya lagi kuliah di jkt. Demo dmn2.
ReplyDeleteBaru mengenal sosok Wiji Thukul dari beberapa tayangan di televisi soal kehidupan istri dan anaknya kemudian. Sebab tahun tahun runtuhnya Orde Baru, mengerti soal dunia pun saya belum tentu.
ReplyDeleteTapi resensi ini cukup mengenalkan saya kembali, pada sosok yang katanya memang dihilangkan ini.
Pernah demger Mba jaman aku kuliah dulu tp aku g pahqm juga. oh ternyata. Makasih resensinya.
ReplyDelete