Judul : Aku Ini Binatang Jalang-Chairil Anwar
Penulis : Chairil anwar
Penerbit: GPU
Tahun Terbit: Juli 2011
Tebal :131
Buku : Non Fiksi
ISBN : 978-979-22-7277-2
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kapankah
tepatnya kau atau aku mengenal Chairil Anwar?
Seingat
saya, sewaktu SD sajak AKU ini sudah
harus diapalkan, entahlah untuk anak SD
masa kini, apakah sajak-sajak masih begitu
berarti. Dulu betapa bangganya menyerukan kata-kata AKU dengan nada deklamasi, berikut gerakan anggota tubuh, tangan satu
terkepal ke depan. Seakan setiap bait AKU
mengandung magic dan power yang besar, seperti ketika kita menyanyikan ‘BERKIBARLAH
BENDERAKU’, tentu ini versi feel
subyektifitas saya. Terlebih saya memang penyuka sajak sejak kecil.
Baca Juga : Peran Ayah Dalam Mendidik Anak
Sajak-sajak
Chairil Anwar yang paling membekas tajam nyaris pada semua orang memang yang
berjudul AKU, bahkan dari puisi AKU ini laksana sudah menyatu dengan
penulisnya yang berjuluk CHAIRIL SI BINATANG JALANG, meski sajaknya
Krawang-Bekasi tidak kalah terkenalnya.
Saya
setuju sekali jika dikatakan penyair angkatan
45 yang meninggal dalam usia muda ini goresan sajaknya sangat menggambarkan
jiwa muda yang berkobar, identik dengan pemberontakan, sehingga karya-karya
sajaknya jarang yang memasukan dalam jajaran puisi romantik.
Jarang
atau belum ada? Ehmmm, benarkah sajak-sajak Chairil jauh dari romantik?
Dalam
buku hardcover bersampul maron kolaborasi warna kopi berjudul AKU INI BINATANG JALANG - CHAIRIL ANWAR dengan
cover depan potret sang penyair yang khas mendunia: ekspresi bersama sebatang rokok. Buku setebal 131 ini berisi
kumpulan puisi terlengkap dari tahun 1942-1949 karya Chairil Anwar, berikut
surat-surat beliau teruntuk sahabatnya HB.Jassin yang mengabarkan keadaan
jiwanya...
(Kartu
pos, 11 Maret 1944)
d/a
R.M Djojosepoetro
Paron
Pagi
Jassin
Kubaca sajak-sajakku semua. Aku kesal,
sekesalnya..., jiwaku setiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa
Aku sebenarnya...
(Hal:117)
Terbaca
bagaimana Chairil digerogoti gelisah tak bertuan, begitu juga dengan
sajak-sajak lainnya yang saya baca, seperti (hal:14):
SENDIRI
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian di kamarnya
Ia benci dirinya dari segalanya
Yang meminta perempuan untuk
kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan menanti ia menyebut
satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa
memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu!
Ibu!
Februari 1943
Dan
beberapa puisi lagi tentang perempuan, tentang rindu, tentang cinta ditulis
dengan bahasa pedih perih, seperti sepenggal sajak CINTAKU JAUH DI PULAU (hal:72):
Manisku jauh di pulau
Kalau ku’mati, dia mati iseng
sendiri
Atau
sajak dalam bahasa sedikit nakal (hal:38):
MULUTMU MENCUBIT DIMULUTKU
Mulutmu mencubit dimulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka?
12 Juli 1943
Entah, mungkin
pada jamannya kondisi demikian atau memang Chairil Anwar adalah bagian dari
suara jiwa-jiwa yang penuh pemberontakan, membaca sajak-sajaknya dalam bukunya
ini... sesudahnya saya merasa seperti ada yang kosong-hilang-emosi-tragis dari
seorang Chairil Anwar.
Konon, ada satu
pandangan yang mengatakan’the author is
dead’ dimana jika seorang penulis telah mempublishkan karyanya, baik real
atau tidak real, karya tersebut telah lepas dari biografi penulisnya. So
demikian...menutup pada halaman 109... buat saya, lagi-lagi feel subyektifitas saya bahwa
sajak-sajak Chairil Anwar memang tidak romantik.
Namun Chairil Anwar sebagai salah satu penyair
besar Indonesia, SAYA SETUJU karya-karya beliau akan terus hidup seribu tahun
lagi.
Seperti yang
diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono pada Kata Penutup di buku ini:
‘Tidak
ada hasil kerja manusia yang sempurna.
Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau,
yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya.
Namun, beberapa
sajaknya yang terbaik menunjukka bahwa ia (Chairil Anwar) telah bergerak begitu
cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf
sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan...’
Jadi saya pikir,
jika anda pencinta karya sastra Indonesia... layak menjadikan buku ini sebagai
koleksi pribadi, juga tentu saja kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni dan buku yang tokohnya mati dibungkam kenyataan: Wiji Tukul
Buku ini melegenda banget ya mba. Apalgi pas jaman AADC. Hihihi
ReplyDeleteFenomenal hahaha
DeleteItu aku karya sumanjaya mba...
DeleteWaah..belum sempet baca buku ini, padahal ada di perpus kampus. Thanks for the review :)
ReplyDeletezahra-salsa.blogspot.com
Disempetin,ga tebal kok
Deleteaku juga suka puisi2 chairil anwar
ReplyDeleteFull power puisinya
Deletejadi ingat zaman masih sekolah... suka baca puisi ini depan kelas.., dan kalo ujian sering masuk dalm soal bahasa indonesia..., aku suka puisinya..
ReplyDeleteJaman dulu anak-anak tahu banyak karya lama ya
DeleteBenar mbak, walaupun beliau sudah tiada, karya-karya tetap abadi ya :)
ReplyDeleteYups, melegenda meski ada beberapa karyanya yang plagiat
DeleteSuka dengan puisinya
ReplyDeleteDulu zaman sekolah SD SMP legend banget ya puisi khairil Anwar ini. Dulu kakakku deklamasinya ini tentang Aku.
ReplyDeletesuka dulu baca puisinya, sering perlombaan juga. Emang keren diksinya Puisi Chairil Anwar
ReplyDeletesuka beud dulu sama chairil anwar pas awal2 tau puisinya di buku bahasa indonesia
ReplyDelete