Tuesday

MENGAIS ILMU DENGAN WISATA JAKARTA (bag.2)

KOTA TUA

Dari FX kami ke selter Busway Gelora Bung Karno, busway kali ini lumayan bagus. Informasi suara masih aktif, pendingin masih terasa ‘nyesss’ di kulit meski sedikit penuh. Alhamdulillah ada seorang wanita memberikan Pijar duduk, usianya tidak terlalu muda dibanding beberapa gadis belia yang asyik duduk sambil asyik menatap layar monitor hape, atau gadis sexy dan lelaki muda yang saling senyum-senyum, jelas mereka sejoli yang tak sudi berpisah, hehehe.

Perjalanan berakhir di selter busway Kota, penumpang berebut turun, memburu pintu hingga kami menjadi penumpang terakhir yang turun dari busway, menuju lorong pintu ke luar selter busway yang tampaknya didisain sebagai taman kota, ada kolam besar dengan air mancur, tangga berliku yang kokoh. Saya yakin, ini didisain dengan apik dan bukan sekedar disain orang biasa, hanya sayangnya... lagi-lagi bangsa ini memang tidak dapat merawat. Bisa membangun tanpa bisa merawat seperti menanam tak pernah memikirkan bagaimana tanaman itu akan tumbuh.


Taman itu kolamnya berair hijau, sangat hijau sampai Pijar mengatakan, mirip kolam cincau.
“Jijik yak, Bu. Jangan-jangan kalau malam ada yang pup disitu...”
Ups! Liar sekali imajinasi jagoan kecil saya, hehehehe.
Kami melintas sepanjang jalan yang terdapat bangunan tua peninggalan jaman Belanda, beberapa sudah bobrok tak terawat, padahal bisa menjadi aset negara sebagai saksi sejarah yang tidak dusta, meski bisu. Melewati pedagang kaki lima, jejeran pengemis yang menyita waktu Pijar untuk wara-wiri memberi sekedar uang dua ribu rupiah. Matahari berkolaborasi dengan debu, dan anak-anak selalu ternganga melihat para pengemis bertahan lama duduk di aspal panas, ditimbun debu hingga sosoknya kadang menyatu dengan dinding atau aspal jalan.

“Kasian...” kata Pijar.
“Makanya ade bersyukur, kalau maem jangan dibuang-buang. Lihat tuh, pengemis mau maem aja harus kebakar matahari...”
Pijar memelukku, kami pun kembali menyusuri trotoar menuju Museum Seni Rupa, rencana mau kesana dulu baru akan ke Fatahilla dan Museum Wayang. Miris benar berjalan di trotoar yang kulihat terbuat dari potongan batu kokoh dan besar-besar, karena entah kenapa, rusak disana sini, berlubang dan diisi sampah yang bau, belum lagi bau pesing yang menyeruak...Duh, manusia gak mau kalah yak sama binatang!
Lintang dan Pijar berjalan sambil menutup hidung, “Iiih, jorok banget jalanan bau pesing!” omel Lintang.
“Ini akibatnya kalau dari kecil ga belajar agama, kebersihan itu sebagian dari...”
“IMAN!” jawab Lintang dan Pijar serempak.

Museum Seni Rupa

Pilar-pilar Museum Seni Rupa yang indah

Kami pun melanjutkan langkah dengan riang, menyeberang, menuju Museum seni Rupa yang bangunannya sangat menawan, aku sampai terkagum-kagum terhadap pilar-pilarnya yang kokoh, halamannya yang bersih dan nyaman. Patut diacungkan jempol deh sama kebersihannya.

Setelah membayar karcis Museum Seni rupa sebesar Rp.2000.- kami masuk disambut pendingin yang menyejukkan kulit, serta bau apek khas barang-barang kuno. Beberapa orang asyik menikmati isi museum yang pada lantai bawah terdapat Lukisan refro dan profil Raden Saleh, serta beberapa patung keramik, benda-benda dari tembaga yang kondisinya sudah rusak oleh waktu,  mungkin juga kondisi alam saat benda itu ditemukan.

Lukisan dan sosok Raden Saleh ini sangat menarik mataku dan Lintang, pelukis Indonesia yang melegendaris pada jaman Belanda, cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab yang sampai belajar ke negeri Belanda karena kepiwaiannya melukis. Dari jaman ke jaman kepandaian memang membawa berkah, keberuntungan.

Anak tangga menuju lantai atas yang berbentuk memutar dari besi tempaan kuno yang kokoh,
tapi puyeng euy karena muter banget
Di lantai atas museum Seni Rupa terdapat lukisan-lukisan pelukis lain, namun kami tidak jadi mengelilingi semua ruangan di sana, sebab tidak semua ruangan ada pendinginnya. Jakarta yang panas, sehabis berjalan di tempat terbuka, rasanya sesak napas masuk ke ruang-ruang berbau apek tanpa  pendingin, pengap sehingga kami memutuskan untuk duduk-duduk di pelataran museum yang luas dan asri, foto-foto, minum yang sempat kami beli di selter busway

salah satu lukisan di lantai atas - Museum Seni Rupa
salah satu lukisan di lanta atas














(Oya, beli minuman di box yang banyak tersedia di selter busway ini ajaib banget, dan hati-hati loh: pertama tidak semua uang bisa sukses masuk dan transaksi membeli minuman, bisa berkali-kali atau kadang gagal, uang keluar kembali dan kita yang kehausan gigit jari. Kedua, ada yang uang sukses masuk tapi transaksi gagal, mesin tidak bereaksi sampai petugas di selter busway turun tangan, tetap gagal. Pantessss banyak box minuman di selter-selter busway yang jebol, bonyok, sampai ditulisi RUSAK, padahal minumannya masih full. Jangan-jangan itu ulah pembeli yang sudah kehausan akut,uang tertelan box, emosi meledak.. miris banget deh!).


Museum Fatahilla

Pelataran Museum Fatahilla
Setelah cukup istirahat, kami menuju Museum Fatahilla yang siang itu meski terik dipenuhi pengunjung, dan aneka pertunjukan di pelatarannya. Mulai kuda lumping dengan atraksi seorang gadis kecil berusia kira-kira 5-6 tahun, didandani ala pocong lalu dicambuki sampai Lintang ngeri untuk menonton. Duh, ini meski hanya sekedar pertunjukan bisa merusak pemandangan dan hati, jadi tepat kalau kami menghindar lalu memutuskan segera masuk museum yang akan tutup jam 4 sore.

Sama seperti museum Seni Rupa, kami masuk dengan karcis seorang Rp.2000.-, pengunjung cukup membludak, maklum weekend. Kami disambut patung-patung diatas panggung yang menunjukkan peristiwa algojo memacung tawanan. Tidak bisa dibayangkan pada jaman itu, bagaimana terdakwa menghadapi hukum pancung, yang dulu pernah kulihat pedangnya di pajang di lantai atas museum sangat besar, pasti juga berat.

Lintang dan Pijar mengamati itu dengan takjub, meminta ayahnya bercerita singkat, lalu kami naik ke atas melalui anak tangga kayu besar berdisain ukiran Tionghoa sepertinya. Di atas disambut angin sepoi-sepoi menerpa dari jendela yang terbuka sangat lebar, kami berkeliling mengunjungi tiap ruang yang terdapat tempat tidur besar, ruang rapat dengan meja besar dan kursi-kursi tinggi, lukisan-lukisan. Sayang, aku tidak bisa menunjukkan ke anak-anak pedang sang algojo, karena tertera di kotak kacanya, ‘sedang dalam reparasi’.



Plang Peringatan Pembangunan Museum Fatahillah 
yang dahulunya adalah Balai Kota


Museum ini dulu sebenarnya Balai Kota atau dalam bahasa Belanda disebut Stadhuis, dibangun tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Museum yang indah ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Baru pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.

Bicara soal ruang penjara bawah tanah, aku membawa Lintang dan Pijar ke belakang museum, turun ke bawah sedikit, terdapat ruang-ruang yang sempit, pengap, terdapat bekas-bekas pemberat kaki yang berupa batu-batu bulat besar, bisa dibayangkan kesengsaran para penghuninya dulu? Dan sumur besar yang masih ada airnya, konon..aku pernah diceritakan seseorang saat berkunjung ke sana, kalau sumur itu tembus laut sebagai tempat pembuangan mayat-mayat yang dipacung atau mati dalam penjara. Benar atau tidak, buat saya itu sangat meremangkan bulu kuduk.

“Kasian banget para pejuang kita, Bu...” kata Lintang begitu aku ceritakan siapa penghuni penjara-penjara itu, para pejuang yang melawan keperintahan Belanda yang menguasai tanah air kita, Indonesia.
“Makanya, kita harus jaga Indonesia, jangan pipis sembarangan, jangan buang sampah sembarangan...”
 “Untung kita gak hidup di jaman dulu, De..sereem,” bisik Lintang ke Pijar.
“Gada PS yak,” kata Pijar bikin kami tertawa, PS atau play station.

Halaman belakang museum yang asri

Selesai keliling di dalam gedung dan pelataran belakang, kami istirahat di bagian belakang gedung menikmati makanan khas Betawi yang dijual di situ: Kerak telur seharga Rp15.000.- dan es Selendang Mayang segelas hanya Rp.5000.-, es yang berisi potongan menyerupai agar-agar warna-warni tanpa rasa, diguyur santan dan gula aren, berikut potongan es batu. Tergolong murah meriah dan cukup nikmat.



Sungguh nikmat, kami berempat duduk diterpa angin menjelang sore sambil menikmati kerak telur dan es selendang mayang. Beberapa pengunjung asyik berfoto atau sama seperti kami, istirahat sambil menikmati makanan dan minuman khas betawi itu, seakan sejenak lupa habis melewati saksi sejarah yang memilukan...(Bersambung...)






#Ikuti perjalanan kami di  pelataran depan Fatahilla sampai stasiun Kota menuju Pasming dan pulang.

13 comments:

  1. Asik ya mbak .. anak2 menikmati :)

    ReplyDelete
  2. Iya Mba Mugniar...belajar jalan-jalan hehehe

    ReplyDelete
  3. Wah, asik banget mbaaa... keren tuh kayaknya... Pak Dikki mau gak ya diajak ke sana? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak diki hobby jalan gak, kalau hobby pasti suka. bisa menginspirasi tulisan mba, siapa th minat nulis background sejarah Kota Tua

      Delete
  4. Sy udah baca part 1 & 2 mbak Eni. Sayang nya bis dan kreta ga bisa mengakomodir sepeda ya, minimal sepeda lipat lah, shg jalan2 bisa lebih blusukan lagi :). Kalau pakai sepeda itu ga was2 kehabisan bensin atau ga razia polantas tapi tenaga yg keluar juga banyak jadi, walau anak kecil, bisa makan porsi monster kalau kecapke an hehe ... Mbak Eni tau apa itu KPCI (Kayuh Pancal Cumbu Indonesi), mereka skrng lg di papua, keliling Indonesia dgn sepeda dari bogor, melintasi jawa, bali, lombok, ntb, papua, sulawesi, kalimantan, madura lalu balik ke jawa lagi ... 2 tahunan lah itu katanya ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau di Jakarta hari bebas sepeda hari minggu di sepanjang jalan raya senayan, seru tapi padat karena warga Jakarta haus sekali dengan hal-hal demikian, tp kondisi membuat Jakarta tak layak dinaiki sepeda sehari-harinya. Bersepeda dari rumah saya ke Kemang saja, 30 menit tanpa masker..tenggorokan perih*nganga tho ne numpang sepeda ki, masuk lah debu

      Delete
    2. Di Bandung ada organisasi besar goweser bernama B2W (bike to work) yg mjd basis politik agar bersepeda mendapat perhatian pemerintah sbg solusi kemacetan dan polusi. Namun kini bnyak agenda yg terhambat krn rumitnya birokrasi. Walaupun walikota bandung yg sekarang, Ridwan Kamil juga seorang goweser namun agaknya membudayakan bersepeda ini msh amat sulit krn yg jelas penerimaan pajak pemerintah dari kendaraan bermotor dam mobil akan anjlok jika masyrkat beralih ke sepeda.

      Delete
  5. Wah, kota tua jakarta ini menyimpan kenangan buat ku juga ... Ada kawan SMA yg terpisah lebih dari 7 tahun dan akhrnya bisa ketemuan di kota tua. Kemudian, scra asal kita mengkonsep acara traveling yg nekat sambil duduk di bangku2 dekat penjara bawah tanah itu ... Di sisi lain kami tak bisa membayangkan nasib para tahanan dgn pemberat batu2 itu dan atap penjara yg rendah. Tak bisa berdiri sudah pasti. Tak ada wc dan toilet, tak ada alas tidur. Hff. Betapa seharusnya kami bersyukur atas anugerah kemerdekaan ini :). Merdeka !!

    ReplyDelete
  6. Waktu ke Jakarta pas kita kopdar itu, saya pas baru nyampe trus main ke Ragunan (kita nggak jadi ketemuan di sini), habis itu langsung ke kota tua Mbak. Tapi museumnya pada tutup huhuhu... jadinya cuma keliling-keliling di luar aja.

    Ntar kalau ke sana lagi, bareng yak hehehe... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini sedikit ceritanya
      http://umminailah.blogspot.com/2012/11/sore-di-kota-tua.html

      Delete
  7. Mba Oci jam berapa ke museum, disana jam 4 sdh tutup loh ^_^, kadang jam 3

    ReplyDelete
  8. Anakku pasti seneng banget kalo diajak ke Museum. Aku juga pengen ke museum seni Affandi

    ReplyDelete
  9. iya mba aku pengen tuh ke sana, belum kelakon

    ReplyDelete