KOTA
TUA
Dari FX kami ke selter
Busway Gelora Bung Karno, busway kali ini lumayan bagus. Informasi suara masih
aktif, pendingin masih terasa ‘nyesss’ di kulit meski sedikit penuh.
Alhamdulillah ada seorang wanita memberikan Pijar duduk, usianya tidak terlalu
muda dibanding beberapa gadis belia yang asyik duduk sambil asyik menatap layar
monitor hape, atau gadis sexy dan lelaki muda yang saling senyum-senyum, jelas
mereka sejoli yang tak sudi berpisah, hehehe.
Perjalanan berakhir di
selter busway Kota, penumpang berebut turun, memburu pintu hingga kami menjadi
penumpang terakhir yang turun dari busway, menuju lorong pintu ke luar selter
busway yang tampaknya didisain sebagai taman kota, ada kolam besar dengan air
mancur, tangga berliku yang kokoh. Saya yakin, ini didisain dengan apik dan
bukan sekedar disain orang biasa, hanya sayangnya... lagi-lagi bangsa ini
memang tidak dapat merawat. Bisa membangun tanpa bisa merawat seperti menanam
tak pernah memikirkan bagaimana tanaman itu akan tumbuh.
Taman itu kolamnya
berair hijau, sangat hijau sampai Pijar mengatakan, mirip kolam cincau.
“Jijik yak, Bu.
Jangan-jangan kalau malam ada yang pup disitu...”
Ups! Liar sekali
imajinasi jagoan kecil saya, hehehehe.
Kami melintas sepanjang
jalan yang terdapat bangunan tua peninggalan jaman Belanda, beberapa sudah
bobrok tak terawat, padahal bisa menjadi aset negara sebagai saksi sejarah yang
tidak dusta, meski bisu. Melewati pedagang kaki lima, jejeran pengemis yang
menyita waktu Pijar untuk wara-wiri memberi sekedar uang dua ribu rupiah.
Matahari berkolaborasi dengan debu, dan anak-anak selalu ternganga melihat para
pengemis bertahan lama duduk di aspal panas, ditimbun debu hingga sosoknya kadang
menyatu dengan dinding atau aspal jalan.
“Kasian...” kata Pijar.
“Makanya ade bersyukur,
kalau maem jangan dibuang-buang. Lihat tuh, pengemis mau maem aja harus kebakar
matahari...”
Pijar memelukku, kami
pun kembali menyusuri trotoar menuju Museum Seni Rupa, rencana mau kesana dulu
baru akan ke Fatahilla dan Museum Wayang. Miris benar berjalan di trotoar yang
kulihat terbuat dari potongan batu kokoh dan besar-besar, karena entah kenapa,
rusak disana sini, berlubang dan diisi sampah yang bau, belum lagi bau pesing
yang menyeruak...Duh, manusia gak mau kalah yak sama binatang!
Lintang dan Pijar
berjalan sambil menutup hidung, “Iiih, jorok banget jalanan bau pesing!” omel
Lintang.
“Ini akibatnya kalau
dari kecil ga belajar agama, kebersihan itu sebagian dari...”
“IMAN!” jawab Lintang
dan Pijar serempak.
Museum Seni Rupa
Pilar-pilar Museum Seni Rupa yang indah |
Kami pun melanjutkan
langkah dengan riang, menyeberang, menuju Museum seni Rupa yang bangunannya sangat
menawan, aku sampai terkagum-kagum terhadap pilar-pilarnya yang kokoh,
halamannya yang bersih dan nyaman. Patut diacungkan jempol deh sama
kebersihannya.
Setelah membayar karcis
Museum Seni rupa sebesar Rp.2000.- kami masuk disambut pendingin yang
menyejukkan kulit, serta bau apek khas barang-barang kuno. Beberapa orang asyik
menikmati isi museum yang pada lantai bawah terdapat Lukisan refro dan profil
Raden Saleh, serta beberapa patung keramik, benda-benda dari tembaga yang
kondisinya sudah rusak oleh waktu,
mungkin juga kondisi alam saat benda itu ditemukan.
Lukisan dan sosok Raden
Saleh ini sangat menarik mataku dan Lintang, pelukis Indonesia yang
melegendaris pada jaman Belanda, cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah
Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab yang sampai belajar ke negeri Belanda
karena kepiwaiannya melukis. Dari jaman ke jaman kepandaian memang membawa
berkah, keberuntungan.
Anak tangga menuju lantai atas yang berbentuk memutar dari besi tempaan kuno yang kokoh, tapi puyeng euy karena muter banget |
salah satu lukisan di lantai atas - Museum Seni Rupa |
salah satu lukisan di lanta atas |
(Oya, beli minuman di box yang banyak tersedia
di selter busway ini ajaib banget, dan hati-hati loh: pertama tidak semua uang
bisa sukses masuk dan transaksi membeli minuman, bisa berkali-kali atau kadang
gagal, uang keluar kembali dan kita yang kehausan gigit jari. Kedua, ada yang
uang sukses masuk tapi transaksi gagal, mesin tidak bereaksi sampai petugas di
selter busway turun tangan, tetap gagal. Pantessss banyak box minuman di
selter-selter busway yang jebol, bonyok, sampai ditulisi RUSAK, padahal
minumannya masih full. Jangan-jangan itu ulah pembeli yang sudah kehausan
akut,uang tertelan box, emosi meledak.. miris banget deh!).
Museum Fatahilla
Pelataran Museum Fatahilla |
Setelah cukup
istirahat, kami menuju Museum Fatahilla yang siang itu meski terik dipenuhi
pengunjung, dan aneka pertunjukan di pelatarannya. Mulai kuda lumping dengan atraksi
seorang gadis kecil berusia kira-kira 5-6 tahun, didandani ala pocong lalu
dicambuki sampai Lintang ngeri untuk menonton. Duh, ini meski hanya sekedar
pertunjukan bisa merusak pemandangan dan hati, jadi tepat kalau kami menghindar
lalu memutuskan segera masuk museum yang akan tutup jam 4 sore.
Sama seperti museum
Seni Rupa, kami masuk dengan karcis seorang Rp.2000.-, pengunjung cukup
membludak, maklum weekend. Kami disambut patung-patung diatas panggung yang
menunjukkan peristiwa algojo memacung tawanan. Tidak bisa dibayangkan pada
jaman itu, bagaimana terdakwa menghadapi hukum pancung, yang dulu pernah kulihat
pedangnya di pajang di lantai atas museum sangat besar, pasti juga berat.
Lintang dan Pijar
mengamati itu dengan takjub, meminta ayahnya bercerita singkat, lalu kami naik
ke atas melalui anak tangga kayu besar berdisain ukiran Tionghoa sepertinya. Di
atas disambut angin sepoi-sepoi menerpa dari jendela yang terbuka sangat lebar,
kami berkeliling mengunjungi tiap ruang yang terdapat tempat tidur besar, ruang
rapat dengan meja besar dan kursi-kursi tinggi, lukisan-lukisan. Sayang, aku
tidak bisa menunjukkan ke anak-anak pedang sang algojo, karena tertera di kotak
kacanya, ‘sedang dalam reparasi’.
Plang Peringatan Pembangunan Museum Fatahillah
yang dahulunya adalah Balai Kota
|
Museum ini dulu sebenarnya
Balai Kota atau dalam bahasa Belanda disebut Stadhuis,
dibangun tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van
Hoorn. Museum yang indah ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas
bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan
sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah
tanah yang dipakai sebagai penjara. Baru pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian
diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Bicara soal ruang penjara
bawah tanah, aku membawa Lintang dan Pijar ke belakang museum, turun ke bawah
sedikit, terdapat ruang-ruang yang sempit, pengap, terdapat bekas-bekas
pemberat kaki yang berupa batu-batu bulat besar, bisa dibayangkan kesengsaran
para penghuninya dulu? Dan sumur besar yang masih ada airnya, konon..aku pernah
diceritakan seseorang saat berkunjung ke sana, kalau sumur itu tembus laut sebagai
tempat pembuangan mayat-mayat yang dipacung atau mati dalam penjara. Benar atau
tidak, buat saya itu sangat meremangkan bulu kuduk.
“Kasian banget para
pejuang kita, Bu...” kata Lintang begitu aku ceritakan siapa penghuni
penjara-penjara itu, para pejuang yang melawan keperintahan Belanda yang
menguasai tanah air kita, Indonesia.
“Makanya, kita
harus jaga Indonesia, jangan pipis sembarangan, jangan buang sampah
sembarangan...”
“Untung kita gak hidup di jaman dulu,
De..sereem,” bisik Lintang ke Pijar.
“Gada PS yak,” kata
Pijar bikin kami tertawa, PS atau play station.
Halaman belakang museum yang asri |
Selesai keliling di
dalam gedung dan pelataran belakang, kami istirahat di bagian belakang gedung
menikmati makanan khas Betawi yang dijual di situ: Kerak telur seharga
Rp15.000.- dan es Selendang Mayang segelas hanya Rp.5000.-, es yang berisi
potongan menyerupai agar-agar warna-warni tanpa rasa, diguyur santan dan gula
aren, berikut potongan es batu. Tergolong murah meriah dan cukup nikmat.
Sungguh nikmat,
kami berempat duduk diterpa angin menjelang sore sambil menikmati kerak telur
dan es selendang mayang. Beberapa pengunjung asyik berfoto atau sama seperti
kami, istirahat sambil menikmati makanan dan minuman khas betawi itu, seakan
sejenak lupa habis melewati saksi sejarah yang memilukan...(Bersambung...)
#Ikuti perjalanan
kami di pelataran depan Fatahilla sampai
stasiun Kota menuju Pasming dan pulang.
Asik ya mbak .. anak2 menikmati :)
ReplyDeleteIya Mba Mugniar...belajar jalan-jalan hehehe
ReplyDeleteWah, asik banget mbaaa... keren tuh kayaknya... Pak Dikki mau gak ya diajak ke sana? :D
ReplyDeletePak diki hobby jalan gak, kalau hobby pasti suka. bisa menginspirasi tulisan mba, siapa th minat nulis background sejarah Kota Tua
DeleteSy udah baca part 1 & 2 mbak Eni. Sayang nya bis dan kreta ga bisa mengakomodir sepeda ya, minimal sepeda lipat lah, shg jalan2 bisa lebih blusukan lagi :). Kalau pakai sepeda itu ga was2 kehabisan bensin atau ga razia polantas tapi tenaga yg keluar juga banyak jadi, walau anak kecil, bisa makan porsi monster kalau kecapke an hehe ... Mbak Eni tau apa itu KPCI (Kayuh Pancal Cumbu Indonesi), mereka skrng lg di papua, keliling Indonesia dgn sepeda dari bogor, melintasi jawa, bali, lombok, ntb, papua, sulawesi, kalimantan, madura lalu balik ke jawa lagi ... 2 tahunan lah itu katanya ...
ReplyDeletekalau di Jakarta hari bebas sepeda hari minggu di sepanjang jalan raya senayan, seru tapi padat karena warga Jakarta haus sekali dengan hal-hal demikian, tp kondisi membuat Jakarta tak layak dinaiki sepeda sehari-harinya. Bersepeda dari rumah saya ke Kemang saja, 30 menit tanpa masker..tenggorokan perih*nganga tho ne numpang sepeda ki, masuk lah debu
DeleteDi Bandung ada organisasi besar goweser bernama B2W (bike to work) yg mjd basis politik agar bersepeda mendapat perhatian pemerintah sbg solusi kemacetan dan polusi. Namun kini bnyak agenda yg terhambat krn rumitnya birokrasi. Walaupun walikota bandung yg sekarang, Ridwan Kamil juga seorang goweser namun agaknya membudayakan bersepeda ini msh amat sulit krn yg jelas penerimaan pajak pemerintah dari kendaraan bermotor dam mobil akan anjlok jika masyrkat beralih ke sepeda.
DeleteWah, kota tua jakarta ini menyimpan kenangan buat ku juga ... Ada kawan SMA yg terpisah lebih dari 7 tahun dan akhrnya bisa ketemuan di kota tua. Kemudian, scra asal kita mengkonsep acara traveling yg nekat sambil duduk di bangku2 dekat penjara bawah tanah itu ... Di sisi lain kami tak bisa membayangkan nasib para tahanan dgn pemberat batu2 itu dan atap penjara yg rendah. Tak bisa berdiri sudah pasti. Tak ada wc dan toilet, tak ada alas tidur. Hff. Betapa seharusnya kami bersyukur atas anugerah kemerdekaan ini :). Merdeka !!
ReplyDeleteWaktu ke Jakarta pas kita kopdar itu, saya pas baru nyampe trus main ke Ragunan (kita nggak jadi ketemuan di sini), habis itu langsung ke kota tua Mbak. Tapi museumnya pada tutup huhuhu... jadinya cuma keliling-keliling di luar aja.
ReplyDeleteNtar kalau ke sana lagi, bareng yak hehehe... :)
Ini sedikit ceritanya
Deletehttp://umminailah.blogspot.com/2012/11/sore-di-kota-tua.html
Mba Oci jam berapa ke museum, disana jam 4 sdh tutup loh ^_^, kadang jam 3
ReplyDeleteAnakku pasti seneng banget kalo diajak ke Museum. Aku juga pengen ke museum seni Affandi
ReplyDeleteiya mba aku pengen tuh ke sana, belum kelakon
ReplyDelete