Eni Martini dan Anak-Anaknya
Lintang-Eni-Pijar |
Anak adalah telaga kita menumpahkan ribuan kasih dan rindu juga pengharapan
kadang juga menjadi kolam tampungan emosi kita yang meruah
sebagai Ibu...
sebagai manusia biasa...
Memeluk mereka dimana pun kita berada
pengobat lara ketika kolam emosi kita tumpah padanya
penampung ribuan kasih, rindu dan pengharapan
by: Eni Martini
Lintang-Pijar-alm Gibran |
Anakku Cahyaning Lintang Kinasih
Melahirkan putri kecilku Lintang, adalah kenangan tanpa musim, kapan saja aku mau mengingatnya..ADA.
Nyaris 8 tahun silam, dihujani bunga air yang mencurah dari langit, diatas pangkuan pendamping hidupku, 28 November 2005 pukul 16.55 Lintang terlahir ke dunia, begitu cantik, mengingatkan aku akan seorang tokoh wanita dalam pewayangan, Drupadi, hitam yang cantik.
Lintang usia 1 tahun |
Bapakku menyebutnya andeng-andeng ing ndunya, atau tai lalatnya dunia, karena meski berkulit hitam sangat cantik, begitulah Lintang terlahir. Bahagia yang bercampur lara karena pasca melahiran aku mengalami sulit berdiri lama selama 4 bulan (kisahnya tercatum dalam buku Antologi BIRU)
Antologi BIRU |
Lintang tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik, namun juga menjengkelkan, tapi juga pintar. Dia buatku seperti pijar kembang api, indah, mewarnai, tapi juga menyengat hingga kerap jemariku terbakar.
Benar-benar kembang api, yang apa bila rebah tanpa nyala, mampu aku genggam tapi aku rindu perciknya...
dan ketika menyala, aku gegap gepita tapi juga kadang...tersengat panasnya.
"Ibu, Mba kerokin ya...Mba, buatin air hangat..." meski jarang melontarkan kata indah, Lintang jika sedang perduli, membuat aku nyaman dan berani melewati hidup.
Eni-Lintang |
Lintang yang suka jail |
Duhai Rabb...jelang tidur bunga air kerap mekar di bola mataku, memeluk kembang api kecilku yang rebah, menciumi punggungnya dengan doa-doa sejuta kebaikan, aku berharap dia kelak tumbuh menjadi kembang api yang mencahayai hidup, juga Rabb'nya, Aamiin.
Anakku Pijar Bintang Ramadhan
Pijar baby 2 hari |
Menjadi Ibu bagi Pijar... adalah kenangan nyata seperti munculnya pelangi sesudah hujan...Indah. Lelaki kecilku lahir 26 September 2008, beda 3 hari dengan tanggal lahirku, tepat pukul 6 pagi, ditemani pendamping hidupku.
Pijar bayi lelaki berkulit putih , berhidung besar, saat lahir dia dipanggil Ucok.. wkwkwk.
Semua berjalan lancar, Pijar tumbuh menjadi anak yang flamboyan, mampu merayu meski tingkahnya tidak bisa diam, semarah apapun dia mampu melumerkan hati...
Bagiku, dia sering seperti air mengalir ketimbang pijar api meski namanya Pijar. Celotehnya sering menamparku, menjatuhkanku pada perenungan dalam sebagai Ibu:
"Ibu, nanti kalau sudah selesai memarahi mba Lintang, Ibu istigfar ya, istigfar..."
"Ibu ngomongnya sembarangan, dosa, gue-lo itu buat anak SMP, istigfar bu..."
kata 'ISTIGFAR' adalah hukuman yang aku terapkan, setiap anak-anak salah omong atau saat mereka ngambek, dll.
Pijar tidak seperti Lintang yang suka mempelajari sesuatu, seperti mengutak-atik komputer,kamera, dan menghasilkan hal dasyat (Lintang sudah bisa membuat vidio dengan sound musik yang pas di usia 7 tahun). Pijar lebih suka berkhayal, bermain di halaman berkhayal seolah-olah dia super hero, atau menggambar apa yang dia pikirkan, dan buku serta membuat kreatifitas mainan dari benda apa saja.
Pijar juga pemberani untuk gaya atau tampil di depan umum... selain begitu puitis: "
Ibu, jangan sedih ditinggal Gibran, Gibran disurga dijaga Allah...hati ade sedih kalau ibu keluar air mata..."
Pijar 5 tahun |
Eni Pijar |
Ya Allah... kupeluk jagoan kecilku, pengganti alm Gibran, kuciumi disaat terjaga dan tertidur, dia lah 'bel' yang berdetang di jantungku, disetiap emosi yang pecah. Semoga kelak dia tetap menjaga ibu dan kakaknya, Aamiin.
Anakku Khalil Muhammad Gibran
Gibran saat malam-malam kudandani dan foto |
Gibran lahir tanggal 15 Maret 2012 pukul 06.05 pagi yang dingin....juga ditemani pendamping hidupku.
Lahir belum genap bulan ke 9, yang membuat aku menelan pil penahan kontraksi, tapi semua kehendak Allah, selesai membaca Yasin... aku yang semula penuh takut, menyakinkan diri bahwa Gibran bisa terlahir ke dunia.
Dipagi buta seperti waktu hendak melahirkan Pijar, aku dan pendamping hidupku meluncur ke rumkit yang dirujuk dokter untuk bersalin di sana, di ruang yang sama saat aku melahirkan Pijar...
Begitu mudah, sangat mudah...bayi mungil berwajah manis itu terlahir ke dunia, tangisnya memecah pagi. Syukur kupanjatkan saat berbaring selesai bersalin....mudaaah sekali semua terasa mudah bagai daun jatuh dari tangkainya saat terhembus angin...
Ya Allah, terima kasih, terima kasih...
Sampai berapa jam kemudian, aku menerima serangkai penjelasan...bahwa ada sesuatu dalam diri Gibran yang saat itu kuberi nama Anakku Laksana Langit Biru...
"Entah organ jantungnya yang lemah, entah paru-parunya...."
Dalam taksi keesokan harinya, aku pulang memangkunya dalam bunga air di mataku...
"Tenang, Bu, dulu ada bossku di kantor mengalami hal seperti Gibran, tapi ia jadi orang hebat tuh.." hibur pendamping hidupku.
Entahlah, berjuta firasat melesak masuk jantungku...
Seminggu kemudian Gibran kena kuning yang sedikit riskan, alhamdulillah sehat dengan cepat meski harus menelan obat dan jarum suntik berkali-kali.
Sungguh, aku berubah cengeng menjadi ibu jagoan kecilku satu ini, sangat cengeng dan penakut.
Gibran kujadikan model keisneganku |
Anakku Khalil Muhammad Gibran
Aku kerap memanggilnya: Gib'bron dengan spell bergaya orang Arab untuk membuatnya terkekeh.
Gibran, satu-satunya anakku yang paling beruntung, begitu terlahir memiliki ibu dengan kerudung di kepalanya (aku baru berjilbab, beberapa bulan sebelum kemudian hamil Gibran).
Gibran tumbuh menjadi bayi manis, yang tidak cengeng meski digoda kakak-kakaknya dengan terlalu, meski kerap kutinggal-tinggal pekerjaan lain, juga begadang untuk menulis dll.
Dia begitu manis dengan lesung pipi di sudut bibirnya bila tawanya sendang buncah...
Bahkan dia mulai memanggil Aaa...yaya..yaaah saat usia 4 bulan, bisa diajak bercakap-cakap Oooo...Aaaa, berguling, belajar tengkurap meski tulang lehernya tidak sekuat kakak-kakaknya dulu, dan tetap diawasi dokter perkebangannya.
"Kita tidak tahu, Bu, apa yang akan terjadi nanti..."
Dokter menjadi manusia paling menyeramkan buatku, bahkan untuk imunisasi aku tidak berani, ayahnya lah yang masuk ruang dokter...
Entah, seperti sebuah tanda, setiap malam menjelang tidur aku menggenggam tangan Gibran, membaca surah-surah Allah sampai kami tertidur, mendoakannya dari ubun-ubun hingga telapak kaki.
menciumi dengan ribuan pengharapan... akan takdir terindah untuknya.
Malaikat kecil dalam hidupku.... SELAMAT JALAN, GIB... |
Di siang yang sepi, aku jatuh ke lantai rumah sakit GMC, diantara para teman, keluarga, saudara, yang mendampingi... aku gagal menjadi ibu bagi Gibran.
Aku gagal.
Bermalam-malam aku terbangun dengan tubuh menggigil, dada nyeri karena sedang tahap menyusui...
Pendamping hidupku, ayahnya Gibran membisu
tampaknya kami sama-sama kehilangan
dan..Lintang serta Pijar menghantam jiwaku dengan amarah mereka, kata-kata mereka, bahwa aku harus bahagia Gibran dalam asuhan Allah Maha Penyayang...
Setiap mata banjir bunga air
Lintang dan Pijar datang memetiki bunga-bunga air di mataku
tanpa jera
tanpa bosan meski kadang aku lepas kendali pada mereka
Ya Allah...Duhai Rabb...kupeluk dua anakku, Lintang dan Pijar
Kutahu, KAU selalu memberiku yang terbaik
ijinjkanlah aku dengan segala kekurangan
kebodohan'
kenaifan
untuk menjadi IBU bagi anak-anakku secara utuh, tanpa cela hitam di mata mereka, Aamiin
Bisikan Ibu:
Duhai anak-anaku... Lintang, Pijar...Gibran, aku pada kalian. Dihidupku, dijatungku...disetiap hela napas dan doaku...
Hari-hari itu dilewati dengan pasti |
Mengajak mereka menikmati hari |
perjalanan hidup bersama
belahan jiwa
kadang
bisa jadi
atau
memang
Aku merasa ini hal terbahagia
setidaknya mensyukuri apa yang Allah kehendaki
Keluarga Besar Kami sekarang |
Paso, 22.53 Wib
20 Oktober 2013
0 komentar