Menulis Secara Otodidak

by - January 26, 2010



Seorang penulis adalah manusia yang peka.
Teramat peka dengan yang lain-lainnya.
Peka melihat apapun dalam geliatnya yang paling kecil.

***

Itu adalah sepenggal kalimat yang ditulis seorang novelis Cekoslowakia, Milan Kundera dalam bukunya Kitab Lupa dan Gelak Tawa.
Seperti itu pula lah saya belajar menulis dari kanak-kanak, peka!
Peka ini yang mengasah indera kita sehingga memiliki keahlian menulis secara otodidak.
Terutama dalam menulis novel seperti tema workshop kita.
Sebelum membahas menjadi penulis novel secara otodidak, mari kita ulas kesulitan dalam menulis:
Kesulitan membuat alur cerita
Kekurangan pembendaharaan kata

Bagi saya dua point itu yang paling banyak dikeluhkan seseorang ketika hendak menulis fiksi, Terutama novel karena novel berbeda dengan cerpen, berbeda dengan puisi,
Novel dari ukuran dan ketebalan buku kita sudah bisa tebak sejauh mana sebuah cerita dalam novel dibuat. Sebagai contoh seperti novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel setebal 404 halaman yang menceritakan perjalan seorang ronggeng: Srintil dari masih bayi hingga menjadi perempuan dewasa.
Contoh buku yang cukup dikenal kalangan muda: Supernova-nya Dee. Untuk yang berjudul Akar mencapai 209 halaman, perjalanan pemuda bernama Bodhi:

v Bayangkan alur yang dibuat dalam kedua novel tersebut sehingga pembaca dapat mengikuti seperti sebuah kisah yang bergulir dalam kehidupan nyata?
v Bayangkan berapa banyak pembendaharaan kata dalam novel setebal 404 dan 209 halaman
v Bayangkan membuat satu persatu karakter tokoh di dalam novel tersebut karena sebuah novel kehidupan akan lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh yang otomatis memiliki karakter berbeda-beda seperti dalam kehidupan nyata. Karena sebenarnya novel itu adalah potret kehidupan yang diabadikan secara tulisan.

Membayangakan hal-hal seperti diatas jika kita memiliki kesulitan membuat alur dan pembendaharaan kata, maka sebuah novel tidak akan terwujud.
Hasilnya seperti yang banyak dikeluhkan, ide yang meluap-luap itu, yang bersemayang di kepala hanya keluar sampai berapa baris paragraph, atau berapa lembar folio, stak, hasil ketikan dibuang ke tong sampah, atau file di komputer tersimpan tanpa kelanjutan, mati. Lalu bagaimana agar semua itu tidak terjadi:
Ø Apakah seorang penulis harus berpendidikan?
Ø Apakah seorang penulis harus memiliki kepandaian diatas rata-rata, misalkan berangking disekolah, dll?
Ø Apakah seorang penulis harus menimba ilmu dibidang kepenulisan secara formal?

Bagi saya jawabannya TIDAK maka saya membagi pengalaman MENULIS SECARA OTODIDAK. Apa yang perlu kita gunakan, yang perlu kita asah (didik) menjadi peka seperti kata Milan Kundera,: PANCA INDERA KITA.
Saat kita memiliki ide sebuah cerita, cobalah gunakan dan peka panca indera untuk mengembangkannya menjadi sebuah novel.
CARANYA:
ü MATA
Lihat sekeliling, lihat secara detil, lihat secara keseluruhan apa yang dapat kita lihat, misalkan Mobil umum (bus).
Lihat warna catnya, lihat penumpangnya (ada wanita, ada laki-laki, tua-muda, ada anak-anak, amati ekspresi wajah mereka), lihat cara melajunya (cepat, tersendat-sendat), lihat efek yang ditimbulkannya (meninggalkan asap hitam, bunyi yang berderum, debu yang mengepul), dll.
Lihat segala peristiwa, sebuah peristiwa sudah memiliki alur, tinggal kita meramunya menjadi novel yang menarik.
ü TELINGA
Dengar disekitar kita, dengar secara detil, dengar satu-satu, misalkan suara ramai di pasar:
Suara tawar menawar pedagang dan pembeli, suara celoteh antar pedagang (yang diiringi tawa, yang terdengar berupa keluhan, umpatan), suara gesekan alas kaki, suara kendaraan yang lewat, suara kantib yang mengacaukan pasar, suara pluit tukang parkir, dll.
Dengarkan keluhan, cerita, dari sahabat, orang lain, dll, cerita seperti ini sudah memiliki alur, tinggal kita mengembangkan detil-detilnya.
ü HIDUNG
Cium aroma kehidupan, cium secara detil, misalkan di sebuah kampus:
Ada aroma parfum dari masing-masing mahasiswa atau mahasiswi (segar, feminim, keras), Cium bau-bauan yang menyertai seperti aroma ketiak, aroma kapur, spidol, kertas, got kampus, dll.
ü KULIT
Rasakan sesuatu disekeliling secara detil, secara keseluruhan, misalkan disebuah rumah.
Tektur dinding bercat, tektur kayu, tektur lantai, tektur selimut, bantal, gelas keramik, gelas beling, gelas plastik, rasakan persamaannya, rasakan perbedaannya, rasakan kolaborasinya.


ü LIDAH
Rasakan setiap apapun yang kita makan, kita kunyah, kita minum, rasakan rasanya, rasakan tekturnya, rasakan sensasinya, rasakan ia menyentuh apa saja yang ada di rongga mulut (lidah, gigi, gusi, langit-langit mulut, sepanjang lidah), rasakan kemudian aliran jalannya menuju tenggorokan, dan seterusnya.
Nah, dengan semua itu dididik, diasah, dibuat peka, kita sudah mendapat banyak hal yang bisa untuk ditulis, alurnya,
suasana/situasi sebagai penguat cerita, karakter tokoh-tokohnya secara detil, pembendaharaan katanya seperti yang kita lihat, kita dengar, kita cium, kita rasakan, kita cicipi.
Juga tentu dengan banyak membaca. Membaca. Membaca. Menulis. Menulis. Menulis dan terus menulis apa saja yang kamu lihat, dengar, cium, rasakan, dan raba.
Dan jika sudah mampu berkarya coba kirim draf-draf tulisan novel kita ke penerbit.

You May Also Like

2 komentar