Pernah gak terjadi
dalam diri Anda sebagai ibu yang tentu saja memiliki anak, lalu Anda melihat si
kecil seakan ingin melumatnya atau merasa Anda begitu tersiksa dan ingin membenturkan
diri ke dinding, atau ingin pergi sejauhnya dari anak-anak? Atau lepas kontrol
sesaat dengan mengeluarkan suara yang menggelegar kepada anak-anak, melepas
cubitan, pukulan. Namun setelahnya Anda merasa begitu lemas, sedih, dan
menyesal., ingin memeluk anak-anak sekuatnya dan membisikkan kata maaf yang
berulang-ulang.
Tetapi ketika dipicu
oleh hal-hal yang membuat Anda tegang, seperti anak-anak yang tantrum,
pekerjaan rumah yang menumpuk, suami yang pulang larut atau kurang memahami
kondisi Anda, si moster dalam diri itu datang lagi mengubah Anda benar-benar
jadi monster.
Menyadari atau tidak,
mengakui atau tidak, mengiyakan atau tidak, sebagai ibu kita rawan melewati
tahap menjadi monster ini. Bahkan mungkin setiap ibu potensial memiliki monster
di dalam jiwanya jika dalam posisi tertentu seperti yang saya ceritakan di
atas.
Berarti saya pun pernah mengalaminya?
Iyess, meski tahap setiap
orang berbeda-beda, tetapi saya pernah mengalaminya menjadi monster bagi
anak-anak saya. Saya mengeluarkan suara yang menggelegar, membanting
barang-barang, memukul anak-anak, dan menangis sedih sendiri: Mengapa saya
melakukannya? Apa yang telah saya lakukan? Dan, semalaman saya tidak tertidur
hanya karena hati dipenuhi buih-buih penyesalan. Sakit rasanya, namun begitu
dipicu kembali dengan kondisi tertentu saya meledak lagi.
Pernah saya bercermin
dan menatap wajah yang kuyu, mata panda, rambut nyaris tidak tersisir, senyum
ceria yang hilang oleh amarah. Secara keseluruhan wajah dalam cermin itu begitu
kasian...
Mengapa
Ibu Menjadi Monster
Kondisi
Yang Harus Ditanggung
Tahap saya melewati
masa tersulit sebagai ibu dan istri adalah ketika anak nomor dua dan nomor tiga
lahir dalam jeda cukup dekat, yakni ketika Pijar berusia 3 tahun saya hamil.
Jadi sebelum usia 4 tahun Pijar sudah memiliki adik. Sementara Lintang meski
sudah berusia 6 tahun belum dapat dikatakan bisa diandalkan.
Lalu kondisi ekonomi
saya dan suami sedang di bawah, down!
Mungkin setiap helaan napas buat saya adalah berpikir, gimana untuk rejeki hari
esok dengan tiga anak yang kecil-kecil? Ditambah pukulan berat putra ke tiga
yang baru saya lahirkan membutuhkan perawatan atau therapi khusus, yang
mengharuskan saya setiap bulan berbenturan dengan dokter dan rumah sakit.
Setiap jadwal therapi,
diburu materi, setiap pulang therapi dihantam ucapan-ucapan ahli medis tentang
kondisi si kecil yang tidak kunjung memberi progress. Rasa-rasa ini
menggelembung, siap meledak.
Maka ketika dipicu
hal-hal sepele sekali pun, seperti anak bertengkar, menangis, atau posisi si
kecil puppy, lalu kakaknya juga puppy. Mereka teriak-teriak meminta tolong
untuk segera dibersihkan, sementara kadang saya sedang menulis DL novel. Kondisi seperti ini ibarat jarum tajam yang menusuk
dan meledakkan gelembung di kepala dengan sempurna, DUAR! Seketika monster itu
muncul dan menciptkan kemarahan-kemarahan.
Suami
Pasif
Suami saya tergolong
pendiam, dia berperan baik membantu segala hal, tetapi pasif dalam arti tidak
bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Sementara saya senang
mendengar kata-kata yang penuh cinta dan perhatian. Bahasa kerennya, saya
senang digombalin, hahaha. Apalagi jiwa saya cenderung romansa, mungkin karena itu saya ditakdirkan menulis novel.
Serius kata-kata gombal
itu bisa jadi serum buat saya, bisa
membuat sesuatu yang sederhana jadi tidak sederhana, seperti kata: "bu
pagi ini terlihat cantik" atau : "Istriku hebat." Namun tidak
semua pria bisa melakukan hal sederhana ini.
Jiwa
Setiap Ibu Berbeda-Beda
"Anak lo cukup jauh kok jedanya, dibanding anak gue yang setahun ada."
Seorang kenalan pernah
mengatakan itu. Ya, ya, sebenarnya dibanding jeda usia Pijar dan alm Gibran,
jeda usia Lintang ke Pijar lebih dekat, saya hamil Pijar ketika usia Lintang
baru dua tahun. Tetapi semua terlewati dengan baik-baik saja, bahkan ketika
melahirkan anak pertama saya menderita sakit hingga nyaris empat bulan susah
jalan, semua tidak membuat saya menjadi monster.
Ekonomi?
Saat itu karena baru
menikah, tahap belajar dalam segala hal, tidak
juga dapat dikatakan ekonomi saya dan suami baik-baik saja. Kami masih
pas-pasan, melahirkan pun saat itu di puskesmas, berbeda dengan anak ke dua, ke
tiga, dan ke empat, yang ditangani dokter kandungan dan rumah sakit bagus.
Empat bulan baru
memiliki anak pertama, baru hangat-hangatnya menikah, dan harus menderita susah jalan, bagian intim
sakit tiada henti, efek robekan dan jahitan serta penanganan yang salah saat
itu membuat dunia saya gelap.
Tapi penderitaan 4
bulan itu saya jalani dengan kesedihan sendiri dan semangat untuk sembuh karena
ada Lintang dan suami, itu saja. Lalu mengapa setelah 7 tahun menikah, memiliki
3 anak, saya justru mengalami tahap menjadi monster bagi anak-anak saya?
Terbuka
Kepada Suami
Wanita
Butuh Digombalin
Hingga kemudian anak ke
tiga saya meninggal, saya mengalami dari masa-masa menjadi monster berubah masa
menjadi seperti patung, baca kisahnya di
sini:
Bagaimana Menjadi Ikhlas Ketika Kehilangan Anak
Setelah kepergian anak
saya, setelah sebulan tidak saling bicara dengan suami, di suatu malam yang
hening kami berpelukan dan meluncurkan kata-kata saya: "Ayah, ibu butuh
dicintai dengan nyata.."
Tentu suami saya tidak
mengerti dan mengatakan semua hal yang dia lakukan dalam hidupnya untuk saya,
apa itu kurang mencintai?
"Nyata dengan kata-kata, Ayah, mungkin gombal, tapi aku butuh kamu bilang cinta, kamu bilang aku cantik, aku butuh untuk keluar dari rasa sulit yang tidak bisa diungkapkan..."
"Kalau bisa dada Ayah dibelah, mungkin semuanya cuma ada Ibu..."
Itu kata-kata diucapkan
bertahun-tahun lalu dan masih terukir dengan amat baik dalam ingatan saya.
Begitu dasyatnya bukan, kata-kata cinta bagi wanita?
Cinta suami bisa jadi serum dalam jiwa Ibu |
Yeaaah, dada ini terasa
bolong, luas, seakan lautan bisa masuk ke dalamnya, memperdengarkan ombak,
menghadirkan angin pantai dan suara burung-burung. Bahagia itu sederhana, namun
sering tidak sederhana untuk mewujudkannya, butuh keberanian dalam
mengungkapkannya.
Kedekatan saya dan
suami hingga lahir anak kami yang ke empat, setelah dua tahun kepergian alm Gibran,
membuat kehamilan, melahirkan dan masa mengasuh si bungsu penuh kebahagiaan. Alhamdullilah, kebahagiaan ini membuat
pekerjaan rumah tangga, dan lainnya terasa begitu ringan.
Me
Time
Wanita
Butuh Teman&Menyenangkan Diri Sendiri
Sejak menikah saya kehilangan
sahabat saya pelan-pelan. Saat anak pertama lahir, sahabat saya yang belum
menikah atau yang baru menikah kerap main, bahkan waktu saya hamil anak
pertama, suami sibuk bekerja, saya pernah nongkrong di kantor teman seharian
atau jalan-jalan seharian. Begitu pun ketika baru memiliki anak satu, saya
kerap janjian nongkrong bareng sahabat
saya.
Suami juga kerap menemani
silaturahmi, sejauh apapun saya dan suami datangi. Karena anak kami baru punya 1-2,
masih mudah untuk membawanya ke mana-mana,
mereka juga belum memasuki tahap sekolah sehingga lebih longgar
waktunya. Setelah memiliki 3 anak, terbentur ini itu waktu saya hanya bekerja
dan bekerja, bertemu teman atau sahabat bisa setahun atau bertahun-tahun baru
ketemu. Itu pun waktunya tidak banyak, masing-masing dikungkung kewajiban.
Ngobrol sama Leyla Hana di sela acara blogger |
Dari tahun 2008 saya aktif
di medsos, tapi bukan tipe yang bisa menuliskan derita bahkan cerita pun saya
tidak bisa. Saya cenderung jadi pelaku pendengar dan memberi masukan, saya hanya cerewet menulis novel Di medsos
saya memiliki teman yang juga penulis,
Leyla Hana, wanita ini sering sharing berbagai hal yang ternyata
menyadari saya setiap ibu bisa menjadi moster dan itu manusiawi. Namun harus
dihentikan agar tidak kebablasan.
Me time; maksi bareng teman-teman di medsos |
Nyalon bareng sohib dekat rumah |
Selain Leyla Hana,
teman-teman medsos saya banyak sekali, ada Anik Nuraeni, Dhani Praktiknyo,
Viana, Santy, dan tidak terhitung. Mereka pun hadir di saat anak ke tiga saya
dipanggil. Namun pertemuan dengan mereka sangat jarang, kopdar atau pertemuan
dunia nyata hanya sesekali.
Bahagia
Mengenyahkan Monster Itu
Wanita itu berhak bahagia |
Tahun 2015 akhir saya
memutuskan untuk aktif dan menghidupkan blog saya, dan ini ternyata jadi me time yang menyenangkan sekali. Sesaat
bebas dari rutinitas rumah, berkumpul dengan teman-teman untuk tertawa dan
bicara apa saja, tampil cantik sebagai kodrat wanita. Siapa sih, wanita yang
tidak ingin bisa tampil cantik?
Ikut komunitas blogger |
Ngeblog kegiatan yang positif |
SUNGGUH! Ini efeknya tidak
sederhana, jika kata-kata romantis suami seperti serum maka me time itu seperti booster mood yang tinggi. Silaturahmi
di Medos pun semakin meluas, saya memiliki teman-teman lainnya. Tidak hanya
dalam pekerjaan, sesekali kami bertemu di dunia nyata, ngobrol ringan, bergosip
nakal, belanja pribadi.
Dan, belum lama saya
bicara dengan suami bahwa dalam pernikahan saya menuju 13 tahun ini, masa mengandung,
melahirkan Pendar dan menjadi ibu tiga anak dengan pekerjaan lain di luar ibu
rumah tangga, saya justru merasa JAUH LEBIH MUDAH DAN RINGAN meski secara fisik
alami merasakan capek. Apakah ini juga faktor usia yang semakin matang?
Kata suami saya, karena saya bahagia dengan apa yang saya lakukan sekarang dan menurut saya: Karena saya merasa dicintai suami dan teman-teman, memiliki waktu untuk diri sendiri.
Cerita ini mungkin
tidak sama dengan apa yang Anda alami, saya juga bukan seorang psikologi yang
ahli dalam teori penyembuhan masalah psikis (kuliah psikologi saya saja tidak selesai,
wwkwkw), saya juga tidak meminta persetujuan siapapun, namun setidaknya
saya berbagi tentang kejujuran seorang
wanita dan ibu. Mungkin hal sederhana ini bisa menjadi inspirasi Anda untuk menjadi
bahagia dan diri sendiri.
Mengutif sebuah kalimat
yang mungkin bermanfaat:
Yuk, kita simak juga
curhat Leyla Hana untuk membuat dirinya
bahagia dan keluar dari jeratan monster:
Ibu Rumah Tangga Rentan Stres danDepresi, Ini Cara saya Untuk Bahagia.
Ibu Rumah Tangga Rentan Stres danDepresi, Ini Cara saya Untuk Bahagia.
Baru tahu ternyata pas Gibran lahir itu mba Eni sedang masa susah ya. Tapi dulu kelihatan biasa saja sampai Gibran meninggal. Salut mba Eni bisa menyembunyikan semuanya.
ReplyDeleteIni pelajaran penting banget! Jadi ibu baru kadang jg gak mudah.. sedih liat muka kucel dan stress ini itu belum selesai. Makanya lg belajar utk ngurangin semua yg bikin stress.. TFS mba ��
ReplyDeletebaca dr atas sampe meninggalnya dhek gibran ga trasa meweek.......
ReplyDeleteseperti bercermin..... aku adlh monster tergalak bagi gilang.... seharian mnyesal tp besoknya terulang......
kl mbk eni fktor ekonomi... kl aku kyaknya kesepian..... suami persis yg mbk eni gambarkn d mas budi suami mbk eni, pendiem bgt.....
dia bersdia nganter ku kmana aja tp aku brasa pergi sendiri, misal ngemall ga pernah dia memikihkn suseatu yg cocok buatku, bahkn sekedar saran aja jarang bgt.....
teman2 sekolah juga sdah pd sibuk sndiri, jgnkn hangout sekedar bertlfon sja sdah ga pernah.....
sedngkan aku buth pendengar, penasehat, n sebalikny.....
akuu ingin bahagia byar ga jd monster lagi.....
Kadang iya klau kita terlalu terbawa perasaan pdhl kalau semua itu sdh dari hati terus yakin Sama KetentuanNya insyaAllah akan di mudahkan,,,, great mba Eni bs melaluinya,,, mdh2an kita semua bisa,mnjd ortu yg bijak bagi amanah yg telah di titipkn,,, sekolah untuk ortu itu tdk ada kata libur setiap Hari, setiap moment tumbuh kembang anak Ada pelajaran yg psti kita bs ambil��
ReplyDeleteMembaca tulisan ini saya serasa berkaca. Dulu saya sempat menulis hal serupa dengan tema Baby Blues dan Post Partum Depression. Dulu sewaktu masih jadi 'gadis muda' aku mengira aneh sekali Ibu-ibu bisa sebegitu monsternya dengan anak sendiri. Bingung melihat Ibu yang kok bisa-bisanya membunuh anaknya sendiri. Lama kelamaan.. Yes, I feel it.. Memang Seorang Ibu berhak untuk merasa bahagia, berhak memiliki me time yang memadai dan dibantu dengan perhatian suami. Nice sharing bun.. Salam kenal dari saya.. :)
ReplyDeleteKehilangan yang membuat patah dan memperlihat begitu besar cinta pasanganmu En, hadirnya tunas baru disaat kehilangan membuatmu begitu sempurna.
ReplyDeleteTidak hanya itu kau memiliki sesuatu yang wajib di miliki seorang wanita yaitu sahabat.
Ah ..
Tidakkah hidupmu begitu sempurna.
Doaku menyertaimu En, aku bersyukur bisa mengenal kau wanita yang luar biasa.
anw aku kok jadi melo.. hihi
emang yang kita saking banyak yg dipikirin, kadang kita suka marah2 gak puguh tp kl inget nyesel banget
ReplyDeleteYa Allah..meleleh bacanya :'(
ReplyDeleteMakasih sudah share, jadi kalau pengen dirayu ya tinggal bilang aja ya.
Dear mb eni, i feel you saat ini sy juga baru melahirkan anak kedua dan kakaknya sedang masa2 sering tantrum (usia 4 th) pernah beberapa waktu lalu monster itu keluar karena sudah tidak tertahankan sektika itu juga sy langsung peluk erat si kakak dan minta maaf huhu sedih rasanya bisa seperi itu ke anak sendiri. Sekarang setiap kakak tantrum berusaha sebaliknya berbicara serendah dan selembut mungkin juga kasih pelukan walau badannya meronta ronta. Tapi cara ini lebih berhasil dibanding ketika saya juga berteriak dgn nada tinggi.
ReplyDeleteSetuju banget kalau dukungan suami itu puenting banget mba jadi kita merasa tidak sendirian. Mungkin saya juga akan mencoba seperti mb eni bicara hati ke hati dengan suami agar sama2 bahagia.
Makasih ya mb sudah menginspirasi :)
Sebagai suami yang memiliki istri yang berkerja, saya sering lihat istri mukanya masyem kalo sampe rumah. Kalo sudah begitu, anak mending ajak main sama saya dan jauhkan dari ibunya. Setelah suasana lebih nyaman, baru ajak ibu bermain dengan anak. suami, istri dan anak menjadi happy.
ReplyDeleteSampe gak tau mau komen apa. Perjuangan banget ya jadi seorang ibu. Bahkan untuk anak-anak yang kita cintaipun harus penuh perjuangan menjaga sikap agar mereka nggak terluka hatinya karena kita yang sering kali berubah jadi monster.
ReplyDeleteThanks for sharing mak eni, you're my inspiration :)
Woyyy mbak eni.. aku sering lhooo main ke rumahmu. Tapi sering juga ga ketemu tengok mbk eni pagi2 juga pernah. Sehat n bahagia selalu ya mbk. Salam sayang buat anak2
ReplyDeleteLagi ngalamin monster bermata banyak, bertanduk banyak, gigi gerigi yang siap mencaplok kewarasan saya...
ReplyDeleteMakasih ya mba udah terbuka. Ada kelegaan yang lumayan di hati saya *halah
Moga2 saya bisa menang.
Memasuki rumah tangga bukan hanya menata hati antara istri dan suami. Ketika hadir buah hati banyak hal yang akan berubah. Di mana seorang ibu yang tadinya hanya fokus merawat suami, ditambah lagi merawat buah hati bukan hanya satu, dua saja jika Allah mengamanahi titipan. Kelelahan, kejenuhan, suami yang jauh dari panutan, kesulitan ekonomi, hingga seorang ibu yang tak mengenali dirinya sendiri, akhirnya merasa tak bahagia. Ada yang bilang cara merusak negara cukup dengan rusak ibunya. Rumah akan penuh teriakan, anak-anak sehari-hari makan omelan, suami ditodong penuh tuntutan. Sehingga ibu yang seharusnya sumber cinta itu mengalir menjadi monster yang menakutkan bagi seisi rumah. Maka dari itu penting bagi ibu untuk mencharger diri jangan di full kan semua energy dan selalu dituntut multitasking. Suami, keluarga janganlah berdiam diri. Jangan tunggu istri atau ibu anak-anakmu berubah wujud baru menyesal.
ReplyDeleteKebahagiaan itu sederhana, bangun ketenangan hati, beri pelukan hangat antar suamu istri.
Mba Eni, aku kadang juga alami hal begitu. Badan rasanya remuk rendam karena kerjaan, pulang rumah masih harus melakukan banyak hal yang seolah tak berkesudahan. Berkumpul bersama sahabat mungkin terbaik ya mba. Seperti yang kita lakukan. Kok nama aku nggak ada mbaaaa *baper*. Hhahahhaaa
ReplyDeleteHeu.. masih sering jadi monster. Mana anak aku juga maunya ikut terus ke tempat ngajar, jadi seharian penuh sama aku. Kalau lagi banyak kerjaan dan dia (4tahun) rewel, keluar deh moneternya. Bahkan pernah digambar sama dia muka saya dengan mulut terbuka dan giginya banyak �� katanya gambar ibu marah. Setuju banget gabung di komunitas blogger atau nulis blog itu bikin tetap waras. Sesekali ibu memang perlu istirahat sejenak dari rengekan anak.
ReplyDeleteSetiap perempuan yang sudah berkeluarga pasti pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Tapi selama ini aku selalu menganggap Allah lah tempat mengadu. Dan bersyukur memiliki suami yang mau membantu pekerjaan rumah ketika sempat. Mau megang anak-anak, dan ini menurut saya penting banget. Ayah bisa memiliki hubungan yang baik sejak anak masih bayi. Trus istri juga mmeiliki waktu bagi dirinya sendiri saat anak diasuh ayahnya. Aku alhamdulillah belum pernah mengalami momen monster. Kalo situasi sedang nggak mendukung, aku lebih memilih wudlu. Ampuh banget meredam emosi yang memuncak. Dan alhamdulillah saya dan suami dikaruniai anak-anak yang menurut sejak kecil.
ReplyDeleteWaa apa yang mbak eni rasain kurang lebih sama dengan apa yang aku rasain juha waktu awal nikah dan punya anak.
ReplyDeleteMerasa "post power syndrom" karena dulu aku aktif di kampus dan organisasi. Karena aku nikah sambil kuliah, otomatis semua kegiatanku itu off ketika nikah dan punya anak, dan waktu itu sempet tinggal di rumah mertua karena harua nitipin anak pas kuliah.
Untungnya suami lumayan care dan bisa menjadi penyambung lidah kalau antara aku dan mertua ada percikan2 konflik, ya biasa lah sesama wanita kan pasti kadang suka mood swing barengan.
Dan itu yang suka bikin aku tertekan dan jadi monster, mwahaha. Anak jadi korban. Korban cubitan, teriakan, dan tindakan kasar lain,soalnya waktu itu bingung ga punya temen cerita selain suami dan belum bisa kemana-mana.
Tapi satu sih, sebagai perempuan kita ga boleh pasrah, kita juga harus usaha/mencari "penyembuhan" atas masalah kita.
Kalau aku alhamdulillah sekarang udah bisa ngeblog dan ketemu komunitas baru, dan akhirnya ketemu mamaaah Eniii junjungan kita semuaaaa.
������
Setiap ibu berpotensi menjadi monster jika tak lagi mampu mengendalikan emosi dan menemukan penyebab kemarahan ya mbak. Seringkali kalau sudah menikah pikiran emak-emak itu sekedar dituntut : menu makanan tersedia, rumah rapi jali dan bersih, kebutuhan anak-anak dan suami tersedia. Wis pokoke muter dapur kasur sumur. Padahal sebagai emak perlu juga romantis-romantisan sama si bapak, sebagai wanita perlu juga eksistensi, sebagai ibu perlu untuk terus menuntut ilmu (meski ngga harus di bangku formal). Baca ulasan ini jadi pengen ngaca, ngelihat "calon" monster dan perlu menjinakkannya agar tak menjadi monster mengerikan dan memakan korban. tfs mbak ....
ReplyDeleteSaya pernah merasa jadi monster. Tiap hari rasanya ngomel melulu. Abis itu nyesel sendiri. Feeling guilty banget. Tapi trus diulangi lagi. Begitu terus, muter-muter. Saya setuju dengan solusinya. MEmang harus bikin diri sendiri bahagia. :)
ReplyDeleteWanita berpotensi jadi 'monster' yah, hiks, rasanya memang berat mengatasi depresi sendirian. Wanita selalu butuh teman dekat (wanita) selain suami, butuh tempat ngobrol nyaman supaya beban bisa sedikit lepas.
ReplyDeleteSelain itu, jika ada masalah dilembutkan dulu dgn berdoa, banyak istighfar, tahlil, tahmid, apapun sebagai terapi diri. Berkali2, supaya terasa efeknya. Alhamdulillah, meski awalnya berat, namun bisa menenangkan. Thanks sharingnya mbak ��