IMAJINASI
“Aku
akan menikah bulan depan...”
“Oya?”
dua pasang mata di depanku bergerak menuju fokus yang sama, yaitu diriku. Aku
yang mengembangkan senyum lebar. Selebar dunia ini.
“Sama
Ken?”
“Ken?’
Dua
pasang mata itu saling menyambar. Sungguh, aku lihat kolaborasi rasa diantara
keduanya, perasaan tak percaya sekaligus bahagia. Yah, Ola dan Leyla, dua
sahabatku. Tentu keduanya merasa tdak percaya sekaligus bahagia. Mereka tahu
Ken, mereka memahami Ken, mereka setia menanti ceritaku akan Ken. Ken dan Ken
yang mengisi hari-hariku tiga bulan ini.
Siapakah
Ken?
Dengarkan
baik-baik ceritaku ini: Ken adalah pria berusia kurang lebih, lebih tua tiga
tahun dari aku. Jadi tepatnya 33 tahun. Berperawakan sedang, tegap, rambut ikal
yang dipotong rapi. Wajah dengan tulang rahang yang tajam khas pria Sumatera.
Yah, Ken berasal dari suku Riau. Hidungnya mancung, bibirnya tipis kecoklatan
oleh asap rokok yang setia menggantung di bibirnya. Sepasang mata tajamnya
dibingkai alis tebal, hitam. Sungguh, aku begitu mengaguminya.
“Kau
sudah jatuh cinta, Ros!” Pekik Ola ketika pertama kuberitahu akan Ken.
“Dimana
dirimu mengenalnya?” Leyla ikut penasaran.
“Saat
aku pulang dari kantor, hujan lebat waktu itu. Motorku terjebak banjir dan
mogok, pukul 7 malam daerah Kuningan sepi. Hujan membuat sepi tepatnya, aku
berusaha melawan takut. Sekuat tenaga mendorong motorku, sampai sebuah tangan
kokoh menyambar setir motorku saat aku hampir roboh...”
Aku
bercerita panjang tentang Ken. Ola dan Leyla takjim mendengarkan, sampai tidak
berkedip.
“Ternyata
seorang pria dengan kemeja kotak-kotak biru, tubuhnya kuyup, menawarkan bantuan
membawa motorku. Hujan begitu deras, pria itu membawa motorku menepi. Kami
berteduh di halte...”
“Namaku
Ken, kamu?” pria itu, bernama Ken. Mengulurkan tangannya yang basah padaku. Aku
rasakan tangannya tetap hangat meski basah.
“Rosalina...”
“Nama
yang indah. Oya, rumahmu masih jauh?”
“Mampang.”
“Lumayan
dekat sebenarnya, tapi kondisi hujan dan motormu mogok. Mesinnya terisi air.
Bagaimana kalau motornya aku titipkan ke kantor sekitar sini, lalu kamu kuantar
pulang?’
“Memangnya
bisa dititipkan?”
“Apa
yang tidak bisa di dunia ini jika kita berniat baik dan sungguh-sungguh...” Ken
berkata sambil menatapku tegas. Baru aku tahu, matanya sangat menghangatkan
selain telapak tangannya. Seperti itukah para pria dilahirkan, untuk
mengalirkan rasa hangat yang ajaib. Seperti semacam cahaya panas yang menyambar
keseluruh permukaan kulit dan menyelusup ke dalam aliran darah. Hangat
semuanya.
Ola
dan Leyla tertawa mendengar ceritaku. “Kamu polos banget, Ros. Itu namanya
naluriah manusia yang alami...” kata Ola diantara derai tawanya.
Ya,
ya...naluriah yang alami. Yang tanpa merasakan pun, dengan membayangkan aku
sudah bisa mengimajinasikannya secara nyata tentang rasa hangat itu.
“Tuh,
pipimu merah...Hahahahaha!” dua sahabatku tertawa lagi. Begitulah hari-hari
setelah cerita soal Ken muncul. Mereka berdua, Ola dan Leyla menjadi tempat aku
bercerita setiap hari. Kami bersahabat sejak kuliah, kantor kami sama-sama di
kuningan. Setiap makan siang kami janjian ketemuan di warung-warung makan yang
banyak bertebaran di jalan Setia Budi.
Kami
suka memesan nasi goreng kambing, kwitieu goreng pedas, gado-gado atau mie
pangsit sebagai makan siang, ditemani cerita tentang Ken.
“Cerita
lah sepuasnya, Ros. Kami senang, akhirnya kau punya kekasih,” kata Leyla didukung
Ola, membuat aku semakin menggebu-gebu bercerita tentang Ken dan Ken.
“Iya,
Ken mengantarku malam itu setelah mendorong motorku dideras hujan, menitipkan
pada sebuah kantor. Besoknya dia datang mengantarkan motorku dalam kondisi
nyala. Aku tidak tahu, tapi Mama bilang motorku diantar oleh seorang pria
tampan berbaju biru.”
“Kau
memberikan kuncinya malam itu, Ros?” potong Ola, matanya membeliak.
Aku
mengangguk.
“Kau
sepercaya itu pada pria yang baru kenal, belum tahu siapa dia?” Leyla ikutan
membeliak, hanya karena matanya sipit jadi terlihat lucu.
Aku
mengangguk lagi. Kedua sahabatku menghela napas sambil mengeleng-geleng, “Untung
kau bertemu pria baik-baik, bukan rampok atau tukang pemerkosa...” kata mereka
bareng.
Gantian
aku yang membeliak, menelaah diam-diam ceritaku. Aku yakin tidak ada yang
ganjil dengan ceritaku. Ya, aku begitu percaya dengan Ken. Entah, kenapa walau
baru bertemunya malam itu. Rasa hangat ditelapak tanganya, sinar matanya,
seakan sebuah kode bahwa pria itu adalah pria baik-baik yang diantarkan Tuhan
untukku.
...
“Ken
menembakku!” kusampaikan berita itu sebulan kemudian setelah berbagai cerita
tentang Ken terus mengalir dari mulutku.
“YES!”
dua sahabatku mengepalkan tangannya, mimik mereka lega akhirnya Ken menyukaiku
secara nyata. Sebulan ini kulihat mereka sedikit kawatir, aku hanya bercerita
soal telepon Ken yang bicara tentang pekerjaan, kedatangan Ken yang mengotak
atik motorku di rumah. Sepertinya mereka menduga Ken hanya mengganggapku teman
dan aku terlampau berharap jauh. Mereka pasti lihat itu dari sinar mataku,
kilau merah jambu di pipiku setiap
cerita tentang Ken.
“Kalau
begitu berarti sudah boleh dong, Ken dikenalkan ke kita,” ujar Leyla.
“Setuju!”
Ola menanggapi dengan semangat.
Aku
menggeleng lemah, “Jangan sekarang...’
“Kenapa?”
Ola dan Leyla bertanya serempak.
“Kami
ini sahabatmu, Ros. Suamiku dan suami Ola pasti mau kok kami ajak kenalan
dengan kekasihmu. Seneng banget malah...” ucap Leyla serius. Ya, dua sahabatku
ini memang sudah menikah. Ola sedang hamil anak kedua, dan Leyla baru enam
bulan lalu melahirkan putri pertamanya. Tinggal aku yang menunggu keajaiban
seperti mereka, menjadi perempuan sempurna tentunya: Menikah dan punya anak.
“Suami-suami
kita juga sahabatmu, Ros...” Ola menggenggam tanganku yang gemetar.
“Aku
sama Ken baru jadian, biarkan kami saling memahami, mengenali satu sama lain.
Setelah itu baru akan aku bawa Ken kehadapan kalian...” kataku ragu-ragu.
Sebab, aku tidak yakin, apakah bisa...
“Kalian
kan tahu, aku dan Ken baru satu bulan berinteraksi. Bisa jadi aku atau Ken
belum saling mengenali karakter masing-masing. Biar Ken nyaman dulu
disampingku, baru masuk ke dalam sahabat-sahabatku,” lanjutku penuh harap.
“Baiklah,
Ros...kami mengerti. Jaga hubunganmu dengan Ken, Yah. Jaga jangan sampai lerai,”
ucap Ola. Matanya begitu kawatir membuat deburan kuat di jantungku.
“Iya,
Ros. Dijaga yah, jangan egois. Pria itu mahluk paling tinggi egonya, lebih baik
kau mengalah dan berlaku bak dewi disampingnya,” tambah Leyla, “Sebab, ketika
pria sudah kau tahlukkan...segalanya akan kau pegang.”
Deburan
jantungku mencapai puncak hingga aku lemas, berusaha menyakini bahwa kedua
sahabatku percaya akan Ken. Lihatlah dua pasang mata di depanku, begitu serius.Menjadikan
cerita tentang Ken semakin panjang. Panjang hingga bulan ketiga... Ken
melamarku.
...
“So
sekarang boleh dong kami bertemu Ken?” cetus Leyla atusias.
“Jangan,
jangan sekarang juga.”
“LOH?”
Ola dan Leyla saling tatap.
“Kami
sedang repot, pernikahan ini tidak besar-besaran juga. Sederhana saja seperti
garden party. Tapi tetap sangat merepotkan, aku dan Ken harus mengurus ini dan
itu. Kami menanganinya sendiri saja...”
“Padahal
kami begitu ingin bertemu Ken, Rooos...” rengek Leyla.
“Ho
oh,” sambut Ola.
“Buat
apa sih, kok jadi kalian yang seperti tergila-gila dengan Ken?”
Sejenak
Ola dan Leyla melongo. Baru mereka sadari, mereka begitu penasaran dengan sosok
Ken. Bahkan diam-diam mereka seperti mengidolakan Ken, lelaki di luar suami
mereka sendiri. Mungkin tepatnya, menganggumi dari segala hal tentang Ken yang
dicekoki oleh Rosalina setiap hari. Bahkan mereka kecanduan cerita-cerita
tentang Ken, sehingga selalu menanti apa yang akan Rosalina ceritakan tentang
Ken. Duh, kok bisa ya?
“Nanti
di resepsiku juga ketemu,” ujarku menenangkan. Beruntung kedua sahabatku tidak
memaksa. Mereka lantas fokus dengan gaun pengantin yang akan aku pakai. Putih,
semua serba putih. Aku hanya akan memakai gaun pengantin sederhana sebatas mata
kaki, gaun dengan ornamen bunga mawar putih yang menumpuk didada. Rambutku yang
lurus mencapai bahu akan aku gerai, dimahkotai bunga mawar segar putih...mungkin
aku akan sesederhana Kate Middleton istri pangeran William. Kate mengenakan
gaun pengantin putih yang sederhana di hari pernikahannya...
“Jangan
lupa diet, Ros, masih ada waktu satu bulan supaya terlihat memukau di hari
istimewamu,” saran Leyla.
“Iya,
diet ketat. Harusnya dari kemarin-kemarin, ini hari-harimu makan terus. Barusan
dua mangkuk mie kau habiskan, Ros,” Ola mengomel.
“Aku
janji, aku akan diet,” ujarku, menahan sesak di dada.
“Hargailah
Ken, dia pasti bahagia jika kau lebih cantik lagi,” bisik Ola begitu menyadari
perubahan mimikku. “Dia pasti akan terpana melihat kau dengan gaun putih,
motivasi dirimu dengan impian itu. Lihat Leyla, baru enam bulan melahirkan,
sudah kembali langsing.”
Aku
mengangguk asal.
“Kalau
mau akupuntur, bisa ke dokterku, Ros. Manjur, dalam waktu satu bulan bobotku
turun 5kilo. Kalau mau lebih keras lagi bahkan ada yang turun sampai 8 kilo
selama sebulan,” Kata Leyla.
Aku
mengangguk lamban. Kubiarkan mereka bicara panjang lebar soal diet, bukankah
itu hal yang wajar bagi pengantin wanita: Diet
menjelang hari pernikahan.
...
Aku
membenamkan kepalaku ke dalam bantal...
Satu
minggu sudah sejak ijin cuti, aku mengumpulkan sejuta keberaniaku menelepon Ola
dan Leyla untuk mengabarkan sesuatu. Sengaja tiga hari ini aku tidak mengubungi
mereka, tidak mengangkat telepon mereka, tidak membalas BBM atau DM mereka di
twit.
Sejauh mana
persiapanmu, Ros?
Maaf kami tidak bisa
membantu
Tapi apa yang kau
butuhkan kami bisa kirim sebisanya.
Itu
BBM Leyla.
Ros, kenapa susah
dihubungi
Apakah semua sudah
beres
Apa yang kurang?
Itu
DM Ola.
Dua
sahabatku yang baik, begitu baik. Aku harus mengabarkan ini, harus. Ah, Ken. Ken...
“Pernikahanku
gagal, La...” Ola yang pertama kutelepon, sebab dia lebih tenang dibanding
Leyla yang berapi-api. Aku butuh ketenangan sekarang. Detik-detik ini, hal
terpenting dalam hidupku.
“HAH!”
kudengar suara Ola menggelegar, diluar dugaanku responnya atas kabar yang
kusampaikan barusan. Aku jadi gemetar sendiri.
“Kenapa,
Ros? Kenapa?” kudengar Ola justru menangis sebelum aku menangis. Apakah sejauh
itu dia mengharapkan aku menikah?
“Ken
membatalkan pernikahan ini tanpa alasan, La, Ken menghilang. Persiapan kami
nyaris seratus persen...” aku tergugu oleh ucapanku sendiri, tapi aku tidak
bisa menangis. Yang ada aku justru gemetar ketakutan, tidak yakin dengan
kalimatku sendiri.
“Sabar,
Ros, kuat. Tuhan pasti punya rencana dibalik itu, rencana terbaik buatmu.
Percayalah, Tuhan akan mengirimmu pria yang jauh lebih baik. Yang mencintaimu
apa adanya. Tiga puluh tahun bukan segalanya untuk membuatmu patah hati karena
belum menikah, Ros...”
Panjang
sekali kata-kata Ola, bermunculan seperti ribuan kerikil yang melontar ke
kepalaku. Sakit berdenyut-denyut, kenapa jadi begini? Akhirnya aku memutuskan
untuk memperdengarkan tangisku, tangis tanpa air mata. Bahkan bibirku justru
menyeringai kaku. Agar telepon ini tersudahi segera, sukses Ola bersedia
telepon kututup.
“Kabari
Leyla yah, aku ingin istirahat, La...” kataku lirih. Kepalaku benar-benar jadi
berdenyut. Kuletakkan ponsel ke meja rias, lalu bercermin lama...
Tidak
ada Kate yang ada sosok wanita dengan tubuh over wight, wajah bulat dihiasi
rambut lurus melebihi bahu yang tipis. Juga tidak ada Ken, apalagi soal rencana
pernikahan dan gaun putih ala istri pangeran William. Tidak ada pernikahan,
jadi apa yang disebut pembatalan pernikahan? TIDAK ADA!
Aku
melihat mataku tahu-tahu basah. Menangis sungguhan. Puas, kalian semua puas
jika pertanyaan kalian tentang pernikahan padaku, hanya membuat aku jadi
pemimpi kelas akut. Menjerumuskan aku pada lubang terdalam. Kalau kalian tahu,
aku paling takut ditanya: KAPAN KAMU AKAN MENIKAH, ROSE?
Aku
memukul kaca di depanku hingga retak, berharap mimpi-mimpi selama tiga bulan
ini pecah, burai, lenyap ditiup angin.
6 komentar
hehe, bener. pria makhluk paling tinggi egonya. sedikit ego terusik, pasti lerai deh kalo ga bisa ngimbangi :D
ReplyDeleteHm ... kenapa milih nama Leyla mbak?
ReplyDeleteKapan ya pake nama Niar
*pletak*
OOT yak? :D
Bagus bgt mba.....Ceritanya mengalir dgn riak emosi yg pas. .
ReplyDeleteAlamaaakkk.... Bingung jd nya mo komen apaan mbak.... Sukaaaaa :)
ReplyDeleteQiqiqiqi nama tokohnya leyla :-)
ReplyDeleteHuff..miris ya. Karena tuntunan sekitar yg berlebihan.
ReplyDelete